Find Us On Social Media :

Sangat Diidam-idamkan China dan Lokasinya Sangat Dekat Malaysia, Ternyata Ini Alasan Natuna Justru Pilih Bergabung dengan Indonesia

By Mentari DP, Jumat, 14 Agustus 2020 | 17:30 WIB

Lokasi pulau Natuna.

Intisari-Online.com - Anda tahu soal Pulau Natuna?

Pulau milik Indonesia itu kini menjadi membicaraan dunia.

Hal ini dikarenakan kapal-kapal nelayan dan Coast Guard China masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Kepulauan Natuna.

Pemerintah Beijing mengklaim kalau kapal nelayan dan coast guard tak melanggar kedaulatan Indonesia.

Baca Juga: Pernah Belikan Jam Tangan Rp4 Miliar hingga Mobil, Kini Pablo Benoa Pilih Bercerai dan Bongkar Sikap Buruk Rey Utami, 'Ada Sangkut Pautnya dengan Materi'

Dasar yang dipakai Negeri Tirai Bambu mengklaim perairan Natuna adalah sembilan garis putus-putus atau nine dash line.

Secara geografis, Natuna berada di garis terdepan yang langsung berhadap-hadapan dengan beberapa negara tetangga.

Bahkan, lokasinya menjorok ke tengah Laut China Selatan yang membuat rentan disengketakan.

Letaknya diapit oleh wilayah Malaysia, yaitu Semenanjung Malaya di Barat, dan Sarawak di Pulau Borneo.

Lebih dekat dengan Malaysia secara geografis, kenapa Natuna dimasukkan dalam teritori Indonesia?

Baca Juga: Meninggal Sebelum Wisuda, Ayah Ini Gantikan Putrinya yang Raih IPK 3,90 untuk Ambil Ijazah, Seluruh Ruangan Langsung Meneteskan Air Mata, 'Rasa Sedih Ini Bercampur Bangga'

Dikutip Kompas.com dari Encyclopedia Britanica pada Minggu (5/1/2010), sejatinya Kepulauan Natuna dengan tujuh pulau di sekitarnya, pada abad ke-19 adalah wilayah Kesultanan Riau dan pada 18 Mei 1956 sudah didaftarkan sebagai milik Indonesia ke PBB.

Cerita Natuna sampai ke tangan Indonesia memiliki catatan sejarah panjang.

Natuna yang terdiri dari beberapa pulau ini sempat jadi perebutan sengit antara dua kekuatan besar saat itu, Belanda dan Inggris, di tahun-tahun awal kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara.

Belanda memilih mendirikan pusat pertahanan dan pelabuhan di Malaka setelah sebelumnya menyingkirkan Portugis dari wilayah tersebut.

Sementara Inggris, lebih memilih Bengkulu di Pantai Timur Sumatera sebagai basisnya.

Inggris juga membangun kantor dagang di Tanjungpinang untuk mengontrol perdagangan di kawasan Selat Malaka.

Konflik yang tak berkesudahan dan menimbulkan banyak kerugian di antara Inggris dan Belanda, mendorong keduanya melakukan perjanjian Anglo-Dutch Treaty pada tahun 1824 untuk membagi batas wilayah kekuasaan kolonialnya masing-masing.

Dalam perjanjian tertulis tersebut, batas-batas laut di Selat Malaka dan Laut China Selatan yang sebelumnya kabur ditetapkan secara tegas di antara kedua negara.

Inggris mendapatkan wilayah di Utara dan Timur Selat Malaka yang meliputi Semenanjung Malaya dan Singapura.

Sementara bagian Selatan dan Barat selat jatuh ke tangan Belanda.

Baca Juga: Sekolah di Zona Hijau dan Kuning Dibuka Kembali, Puluhan Siswa dan Guru Dinyatakan Positif Covid-19, Beberapa Provinsi Langsung Batalkan Kebijakan

Kawasan yang dimiliki Belanda antara lain Pulau Sumatera, Kepulauan Lingga dan Riau.

Sebagai gantinya, Inggris juga hengkang dari Bengkulu.

Saat perjanjian itu dilakukan, bagian Utara Pulau Borneo masih dikuasai oleh Kesultanan Brunai.

Saat kerajaan tersebut mengalami kemunduran, Inggris mengambil alih wilayah tersebut.

Alasan ini yang dikemudian hari membuat Natuna yang jatuh ke Indonesia diapit dua wilayah utama Negeri Jiran. 

Yang di kemudian hari setelah kemerdekaan Malaysia dari Inggris, wilayah tersebut terbagi menjadi dua yakni Sabah dan Sarawak.

Sementara di sisi Selatan Kalimantan masuk Indonesia setelah merdeka, sebagai konsekuensi warisan semua wilayah Hindia Belanda, termasuk Kepulauan Natuna.

Selama Perang Dunia II, meski periodenya singkat, semua wilayah di Malaya dan Laut China Selatan dikuasai oleh militer Jepang.

Sengketa dengan China

Dalam kasus perselisihan di kawasan Laut China Selatan, Indonesia tak sendirian.

Beijing bersengketa dengan enam negara sekaligus di Asia Tenggara yang perbatasan lautnya saling tumpang tindih.

Baca Juga: Pria Ini Konsumsi 6 Siung Bawang Putih Panggang, Hanya dalam 1 Hari, Hal Tak Terduga Terjadi pada Tubuhnya

Di luar negara ASEAN, China juga berseteru dengan Taiwan soal klaim di wilayah laut yang membentang seluas 3 juta kilometer persegi itu.

Dasar yang digunakan China mengklaim sebagai pemilik Laut China Selatan adalah nine dash line, wilayah perairan China membentang luas sampai ke Provinsi Kepulauan Riau, yang jaraknya ribuan kilometer jauhnya dari daratan utama China.

Wilayah yang masuk dalam nine dash line yakni melingkupi Kepulauan Paracel yang juga sama-sama diklaim Vietnam dan Taiwan, hingga laut di Kepulauan Spatly dimana China bersengketa dengan Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunai Darussalam.

Panjangnya nine dash line China atas klaim hampir seluruh Laut China Selatan, membuat negara itu bersengketa secara tumpang tindih dengan wilayah ZEE negara-negara tetangga Indonesia.

Klaim sembilan garis putus- putus China berdampak hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km2 atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna.

Luas laut negara-negara lain, seperti Filipina dan Malaysia, berkurang 80 persen, Vietnam 50 persen, dan Brunei 90 persen.

Selain menggunakan dasar nine dash line, China juga mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan China.

China dengan peta resminya yakni haijiang xian nei (batas garis laut teritorial), tidak mengakui zona ZEE yang disepakati oleh PBB lewat UNLOS.

Nine dash line yang tergambar dalam haijiang xian nei, dibuat sejak pemerintahan Kuomintang atau nasionalis China pimpinan Chiang Kai Shek.

China menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai 'eleven dash line'.

Baca Juga: Berpuluh-puluh Tahun Bermusuhan, Kini UEA, AS, dan Israel Sepakat untuk Berhenti Caplok Palestina, 'Kami Setuju untuk Berdamai dan Ingin Bangun Hubungan Bilateral'

Berdasarkan klaim ini China menguasai mayoritas Laut China Selatan termasuk Kepulauan Pratas.

Kemudian wilayah Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat China dari Jepang usai Perang Dunia II.

Klaim ini tetap dipertahankan saat Partai Komunis menjadi penguasa China pada 1949.

Namun, pada 1953, pemerintah China mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta 'eleven-dash line' buatan Kuomintang.

Pemerintah Komunis menyederhanakan peta itu dengan mengubahnya menjadi nine dash line' yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan Laut China Selatan.

(Muhammad Idris)

(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diapit Malaysia, Kenapa Natuna Malah Gabung Indonesia?")

Baca Juga: Taiwan Kirim 200 Personel, China Marah dan Kumpulkan Peluncur Rudal, 'Kami Bisa Hancurkan Seluruh Pangkalan Militer dan Gedung Pemerintahan Taiwan Dalam Sekejab'