'Kim Jong-Un Adalah Seorang Pembunuh', Cerita Pembelot Korut yang Melihat Banyak Mayat di Jalan, Termasuk Tubuh Pamannya yang Tinggal Tulang

Mentari DP

Penulis

Jihyun Park menceritakan bagaimana kehidupannya sebelum pergi dari Korea Utara. Serta bagaimana Kim Jong Un yang sebenarnya.

Intisari-Online.com - Ada banyakwarga Korea Utara yang membelot.

Umumnya mereka pergi dari Korea Utara ke China. Lalu setelahnya menentukan mau ke mana.

Seperti kisahJihyun Park ini.

Dia bersama putranya pada 2005 silam selamat dalam pelarian mereka dari Korea Utara ke China di mana dia dijual melalui sistem perdagangan manusia.

Baca Juga: (Foto) Mengintip Perjuangan Para Siswa untuk Belajar Online, Terpaksa Panjat Pohon untuk Cari Signal hingga Jalan Kaki Sejauh 2 Km

Dari China, Park berusaha pergi ke Mongolia dengan memanjat pagar perbatasan bersama putranya yang masih berusia 6 tahun kala itu.

Dia berusaha agar tidak ditangkap polisi.

Jika sampai ditangkap, dia akan dideportasi ke Korea Utara dan sekali lagi dikurung di kamp kerja paksa DPRK Korut.

Kepada The Sun, Jihyun Park menceritakan pengalaman pahit hidupnya.

"Kim Jong Un adalah seorang pembunuh dan dia telah membunuh banyak orang," ujar Jihyun Park.

"Dia sedang membunuh 25 juta orang di Korea Utara, kita harus ingat itu."

Baca Juga: Sempat Dijuluki 'Wuhan Kedua', Risma Klaim Kota Surabaya Kini Sudah Masuk Zona Hijau, 'Penularan Covid-19 Menurun dan Angka Sembuh Naik'

Mati kelaparan

Sebelum melarikan diri, Park menyaksikan ribuan orang kelaparan termasuk anggota keluarganya sendiri selama Kelaparan Hebat sekitar tahun 1990-an.

Park dibesarkan di kota Chongjin, bagian Utara Provinsi Hamgyung, Korea Utara.

Di sana, dia bekerja sebagai guru sekolah.

Karena ibunya seorang pebisnis dan ayahnya seorang anggota dari Partai Buruh Korea Utara, dia hidup dalam perekonomian yang relatif stabil sebelum kelaparan dimulai.

Di dalam rumahnya, terdapat foto sosok pendiri negara itu, Kim Il Sung, sebagaimana dimiliki oleh kebanyakan orang lainnya.

"Sampai tahun 1990, saya tidak mengerti makna dari kelaparan," ungkap Park kepada The Sun.

Namun, setelah tahun 1990, bisnis ibunya hancur dan keluarganya mengalami keterpurukan perekonomian.

Karena Uni Soviet hancur pada 1991, Korea Utara berhenti menerima bantuan dari negara besar itu.

Kurangnya dukungan membuat negara itu lemah dalam perekonomian dan mengalami periode kelaparan akibat kekurangan bahan pangan.

Menurut Park, dia melihat banyak mayat berjatuhan di jalan.

"Tidak ada makanan," ujar wanita itu.

"Pada 1996, paman saya meninggal karena kelaparan di hadapan kami."

"Ketika dia meninggal, dia tidak tampak seperti manusia. Tubuhnya tinggal tulang. Di jalanan, semua orang muram."

Baca Juga: Selalu Pakai APD Lengkap, Dokter Ini Ungkap Dirinya Positif Covid-19 hingga Mengaku Tak Bisa Mencium Apapun, 'Belum Tahu Bagaimana Bisa Tertular'

Saat itu, ayahnya mulai sakit-sakitan. Di pagi hari, Park akan meninggalkan semangkuk nasi untuk sang ayah dan pergi bekerja.

Namun ketika kembali, ayahnya tidak memakan nasi itu.

Ayahnya tidak memakannya karena tidak ingin anaknya kelaparan.

Lambat laun, kondisi ayah Park semakin parah dan tidak bisa berkomunikasi melalui verbal.

Dia hanya bisa berkomunikasi melalui tulisan dengan gerakan lemah.

Selain kelaparan hebat, adik laki-laki Park juga terlibat masalah serius selama bekerja dengan militer Korut sehingga aparat mengincarnya.

"Harapan terakhir ayah saya adalah menyelamatkan adik laki-laki saya," ujar Park.

"Suatu hari dia terbangun dan memberi isyarat kepada saya agar saya pergi."

"Itulah alasan mengapa saya melarikan diri dari Korea Utara."

Seperginya Jihyun Park, sang ayah yang sekarat pun meninggal dunia karena kelaparan.

(Miranti Kencana Wirawan)

(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Kabur dari Korut, Pembelot Ini Susah Payah Sampai Inggris, Ini Kisah Perjuangannya")

Baca Juga: Semakin Kisruh di Laut China Selatan, Negara-negara Ini Ternyata Punya Nyali Besar dan Siap Angkat Senjata Lawan China

Artikel Terkait