Penulis
Sampai Orangtua Larang Anaknya Berprestasi, Inilah Kisah Kehidupan Ganda Yahudi Mashhad, Tinggal di Negara yang Tidak Memihak Agamanya
Intisari-online.com -Apa yang akan terjadi jika ponsel Anda dibuka oleh orang tua Anda untuk melihat siapa saja yang berhubungan dengan Anda?
Bagi remaja, hal itu tentunya membuat marah.
Namun itulah yang dialami oleh Esther Amini saat ia hidup sebagai remaja.
Saat itu tidak ada ponsel, dan ayahnya akan membuka surat-surat yang ditujukan untuknya sebelum surat itu masuk ke kotak pos.
Itu hanyalah satu dari sekian contoh tindakan ayahnya yang overprotektif.
Diperlukan puluhan tahun bagi Amini untuk benar-benar memahami apa yang menyebabkan ayahnya bertindak demikian.
Padahal mereka tinggal di New York, yang membuat Amini heran mengapa ia dikekang seperti itu.
Rupanya akar tindakan itu tidak berasal dari budaya New York, tetapi di Mashhad, Iran.
Di Mashhad, keluarga orang tuanya harus berjuang berabad-abad menyembunyikan identitas asli mereka, dan curiga dengan orang-orang di luar komunitas Yahudi mereka.
Amini, yang sekarang menjadi penulis, pelukis, dan psikoterapis psikoanalitik, mengkonfrontasi sejarah keluarganya dan konsekuensi yang mereka hadapi dalam memoir baru berjudul "Concealed: Memoir of a Jewish-Iranian Daughter Caught Between the Chador and America."
Buku itu merupakan kisah mereka di pertengahan abad 20 dari sudut pandang anak dari orang tua imigran yang tidak bisa lepas dari trauma masa lalu di Timur Tengah.
Cerita mengenaskan para kaum Yahudi Mashhad, yang dipaksa untuk praktikkan agama mereka secara rahasia kurang terdokumentasikan daripada Yahudi kriptonian yang harus berpindah agama menjadi Kristen untuk hindari kematian dalam inspeksi Spanyol.
Mashhad adalah kota dengan populasi terbesar kedua di Iran yang juga rumah bagi situs-situs sakral negara tersebut.
Iran adalah negara yang terapkan Islam secara fanatik dengan imam menjadi diktator lokal, sebabkan para Yahudi tidak memiliki kesempatan untuk hidup dengan normal.
Umat Yahudi terpaksa bertingkah seperti Muslim di publik lengkap menggunakan pakaian Muslim sembari secara sembunyi-sembunyi lakukan ibadah mereka.
Baca Juga: Xiaomi Mi 9T Pro, Hape BM Rp 4 Jutaan Dengan Snapdragon 855 dan Super AMOLED
Meski komunitas Yahudi, yang hidup di kampung Yahudi adalah rahasia umum, mereka masih menghadapi ancaman kekerasan konstan yang bisa menyerang mereka kapan saja.
Transmisi intergenerasi dari dampak sosial dan psikologi identitas dobel ini menjadi pusat cerita Amini di bukunya.
Orang tuanya kemudian melarikan diri dari Iran melalui Afghanistan dan India, dan sampai di AS setelah kemenangan mereka di Perang Dunia II.
Meski begitu, Mashhad tidak pernah benar-benar tertinggal, kondisi hidup tersembunyi yang terbentuk di kota tersebut membuat mereka begitu paranoid dalam membesarkan kedua anak lelaki yang lahir di Iran dan Amini, yang lahir di AS.
Amini yang kini berusia 71 tahun, tunjukkan sketsa sangat jelas dalam bukunya bagaimana ia dan leluhurnya hidup di Mashhad, dan menggambarkan bagaimana ia menjadi wanita Amerika dan juga Yahudi Mashhad.
Ia sendiri menganggap memoirnya adalah memoir yang unik.
"Yahudi Mashhad tidak menulis mengenai mereka dalam cara setransparan ini.
"Mereka masih membawa rasa rahasia dan tidak mudah percaya dengan siapapun," ujarnya mengenai komunitas Yahudi Mashhad di seluruh dunia seperti di London, Hamburg, Milan, Tel Aviv, Jerusalem, dan New York.
Amini peringatkan ada perbedaan mendasar mengenai komunitas Yahudi di Iran dengan komunitas Yahudi Mashhad, dengan contohnya adalah komunitas Yahudi di Teheran.
"Keluarga Yahudi kaya di Teheran bisa mengirim anak mereka bersekolah ke sekolah asrama Swiss, sedangkan wanita Yahudi di Mashhad justru buta huruf dan menikah di usia sangat belia," jelasnya.
Nenek Amini dari keluarga ayahnya, Tuti, menikah dengan suaminya Moshe Aminoff di usia 9 tahun.
Sementara ibu Amini yang yatim piatu, Hana Levi, menikah di usia 14 tahun dengan ayah Amini, Fatulla, yang usianya terpaut 20 tahun.
Sehingga Hana melahirkan kedua anak lelakinya, Albert dan David, di usia remaja.
"Aku dihadapkan dengan budaya Mashhadi dan masyarakatnya yang tidak bisa aku pahami sebagai gadis yang tumbuh di New York antara tahun 1950 sampai 1960," ujar Amini.
Saat itu, otaknya kebingungan dan ia tidak bisa memahami apa yang sebabkan orang tuanya begitu berbeda dengan orang tua teman-teman Amerikanya.
"Dengan ini, aku sekarang punya penglihatan ke belakang yang dulunya tidak kumiliki, dan aku bisa membuat urutan yang benar untuk semua kekacauan yang kuhadapi, untukku, anakku dan cucuku.
"Aku merasa berkewajiban untuk menceritakan apa yang orang tuaku dan leluhur Yahudi Mashhad tidak bisa ceritakan," ujarnya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini