Penulis
Intisari-online.com - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan, hal paling krusial selama pandemi Covid-19 adalah menganggap negara kehabisan uang.
Peneliti Senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan, bahasa sederhananya, para pengusaha meminta pemerintah mencetak uang.
"Kan pada minta untuk yang terakhir misalnya untuk pemerintah atau Bank Indonesia untuk mencetak uang lagi karena ada kesulitan likuiditas."
"Gitu kan? Nah, pertanyaannya benar tidak kesulitan likuiditas?" ujarnya saat teleconference, Kamis (2/7/2020).
Menurutnya, data mengenai jumlah uang beredar di masyarakat memang jumlahnya mengalami penurunan, namun bukan artinya tidak ada lagi stok, utamanya di Bank Indonesia.
"Kita lihat misalnya dana pemerintah yang ada di perbankan maupun yang tercatat di dalam neracanya Bank Indonesia itu kan masih positif lebih hampir Rp 400 triliun."
"Artinya apa? Ada uang pemerintah yang tidak terpakai," kata Enny.
Karena tersendatnya penyaluran ke masyarakat itu melalui perbankan, lanjutnya, maka banyak spekulasi bermunculan negara kehabisan uang.
"Terjawab jadi kan, banyak kalkulasi bahwa apakah pemerintah ini sebenarnya punya duit tidak sih?"
"Kok program-programnya pada tidak jalan karena di Bank Indonesia ada hampir Rp 400 triliun," paparnya.
Sebelumnya, pemerintah pada April lalu memutuskan menambah alokasi APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk menangani Covid-19.
"Biaya penanganan Covid-19 yang akan tertuang dalam revisi Perpres adalah diidentifikasikan sebesar Rp 677,2 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai rapat terbatas bersama Presiden, Rabu (3/6/2020).
Total anggaran Covid-19 tersebut terdiri dari bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun.
Dana itu digunakan untuk belanja penanganan Covid-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran untuk jaminan kesehatan nasional, pembiayaan gugus tugas, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.
"Lalu untuk perlindungan sosial yang menyangkut program PKH, sembako, bansos untuk Jabodetabek, bansos nonJabodetabek, kartu prakerja."
"Diskon listrik yang diperpanjang menjadi enam bulan, dan logistik untuk sembako serta BLT dana desa, itu mencakup Rp 203,9 triliun," tuturnya.
Ketiga, untuk dukungan kepada UMKM dalam bentuk subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, dan mendukung modal kerja bagi UMKM yang pinjamannya sampai Rp 10 miliar.
Serta, belanja untuk penjaminan terhadap kredit modal kerja darurat.
"Kalau pakai kata-kata Presiden, kredit modal kerja yang diberikan untuk UMKM di bawah Rp 10 miliar pinjamannya."
"Itu dukungan di dalam APBN mencakup Rp 123,46 triliun," terangnya.
Keempat, untuk insentif dunia usaha agar mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya, mencapai Rp 120,61 triliun.
Kelima, untuk bidang pembiayaan dan korporasi termasuk di dalamnya PMN, penalangan untuk kredit modal kerja darurat untuk non-UMKM padat karya.
Serta, belanja untuk premi risiko bagi kredit modal kerja bagi industri padat karya yang pinjamannya Rp 10 miliar-Rp 1 triliun, termasuk penjaminan untuk beberapa BUMN, dana talangan sebesar Rp 44,57 triliun.
"Itu masuk kategori pembiayaan korporasi, baik BUMN, korporasi padat karya di atas Rp 10 miliar-Rp 1 triliun, dan untuk non padat karya," jelasnya.
Terakhir, anggaran Covid-19 diperuntukkan juga bagi dukungan bagi sektoral maupun kementerian dan lembaga serta pemda, dengan nilai mencapai Rp 97,11 triliun.
"Jadi total penanganan covid-19 adalah Rp 677,2 triliun," ucap Sri Mulyani.
Tampung Program PEN
Pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2020 yang memuat postur APBN, setelah adanya Pandemi Covid-19.
Perpres direvisi untuk menampung program Pemulihan Ekonomis Nasional (PEN) yang sebelumnya tidak diatur.
"Karena dalam perpres awal lebih fokus pada krisis bidang kesehatan dan bansos kepada masyarakat."
"Serta bagian ketiga mengenai ekonomi dan keuangan serta pemulihannya akan tertuang dalam revisi perpres ini," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai rapat terbatas, Rabu (3/6/2020).
Pemulihan Ekonomi Nasional nantinya akun diatur secara tekni melalui PP 23 tahun 2020.
Terdapat 4 modalitas ditambah instrumen APBN untuk mendukung program pemulihan tersebut.
"Kita bahas pada hari ini mengenai PEN itu melalui 4 modalitas."
"Yakni PMN (penanaman modal negara), penempatan dana pemerintah di perbankan, investasi pemerintah, penjaminan,"
"Plus belanja-belanja negara yang ditujukan untuk menjaga dan memulihkan ekonomi nasional akibat Covid-19," paparnya.
Sri Mulyani menegaskan, pemerintah telah melakukan konsultasi dengan sejumlah lembaga dalam merevisi Perpres 54/2020 mengenai postur APBN, serta penetapan program pemulihan ekonomi nasional tersebut.
Baik itu dengan Komisi XI DPR, maupun antar-lembaga di dalam pemerintah itu sendiri.
"Dilakukan melalui proses konsultasi baik di lingkungan pemerintah sendiri melalu rapat kabinet, oleh Menko Ekonomi, Menko Maritim dan Investasi."
"Dan berbagai lembaga seperti BI, OJK dan LPS yang terlibat dalam pembahasan desain tersebut."
"Dan juga melalui konsultasi dengan DPR."
"Meskipun sedang reses, kami dapat izin untuk konsultasi melalui pimpinan DPR, dengan Banggar dan Komisi XI."
"Yang karenanya, masukan mereka tertuang dalam desain pemulihan ekonomi nasional," beber Sri Mulyani. (Yanuar Riezqi Yovanda)
Artikel ini pernah tayang di Warta Kota dengan judulPemerintah Dianggap Kehabisan Uang, Padahal Masih Ada Rp 400 Triliun di Bank Indonesia