Jadi Bagian Vital di Laut China Selatan, Pulau Natuna Disebut Berada di Garis Terdepan dalam Konflik Indonesia vs China

Mentari DP

Penulis

Pulau Natuna menjadi garis depan dalam kontes untuk pengaruh dan kontrol jalur air strategis yang vital di Laut China Selatan.

Intisari-Online.com - Memanasnya kondisi di Laut China Selatan dikarenakan China mengklaim wilayah itu menjadi miliknya.

Padahal sejumlah negara juga memiliki hal atas laut tersebut.

Tak terkecuali Indonesia.

Diketahui,Indonesia dan China kerap terlibat sengketa wilayah terkait Laut Natuna.

Sejak 2016 hingga saat ini, persoalan tersebut muncul dan tenggelam silih berganti.

Baca Juga: Jauh Lebih Mistis dari Lathi, Lagu 'Pengantar Bunuh Diri' ini Picu Kematian Lebih dari 100 Orang, Liriknya Bikin Merinding

MelansirThe Sydney Morning Herald, Pulau Natuna menjadi garis depan dalam kontes untuk pengaruh dan kontrol jalur air strategis yang vital di Laut China Selatan.

Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina semuanya memiliki hak atas laut ini di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Taiwan juga mengklaim wilayah ini.

Sementara China, berpegang di bawah kebijakan "sembilan garis putus-putus" (nine dash line), menganggap lebih dari 80% perairan ini adalah milik mereka.

Baca Juga: Siap Pecah di Mana dan Kapan Saja, Seluruh Pasukan Militer China diDarat, Laut, dan Udaradalam Siaga 1 Perang yang Sangat Tinggi

Menurut prediksi yang dirilis 2015 lalu, wilayah ini menyumbang 12% dari tangkapan ikan global.

Akan tetapi, masalahnya bukan hanya ikan saja. Ini juga menyangkut soal tentang pulau-pulau kecil yang termiliterisasi dan kebebasan navigasi di perairan yang dilalui sepertiga pengiriman global setiap tahun.

Data yang dihimpunThe Sydney Morning Heraldmenunjukkan, Departemen Luar Negeri AS memperkirakan pada 2019 terdapat cadangan minyak dan gas yang belum dimanfaatkan di Laut China Selatan senilai 2,5 triliun US Dollar.

Perkiraan lain dari Badan Informasi Energi AS, ada kemungkinan 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Klaim Tiongkok atas laut dan programnya membangun terumbu karang menjadi pulau buatan sejak 2014 menjadi perhatian terbesar dunia saat ini.

Tempat-tempat yang dulu hanya ditandai oleh gubuk-gubuk nelayan sekarang dapat menampung pesawat-pesawat militer, rudal, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA-N).

Dapat dikatakan, Beijing menciptakan fakta di atas air dan mengubah medan yang menjadi sengketa.

Bagaimana situasi konflik Indonesia dengan China di wilayah ini?

MelansirKompas.com, banyak faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut.

Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.

Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut.

Baca Juga: Sudah Jadi Aktor Sejak Kecil, Bahkan Main Film dengan Aamir Khan dan RaniMukerji, Aktor Ini Rela Jualan Sayur di Pasar demi Bertahan Hidup di Tengah Pandemi

Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.

Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.

Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China.

Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.

Kemudian, pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru.

Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara.

Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.

Keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing.

Lalu, pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).

Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna.

Baca Juga: Covid Hari Ini 2 Juli 2020: Ada 57.770 Kasus, Ini 5 Provinsi dengan Jumlah Kasus Tertinggi dan Terendah di Indonesia

Persaingan di atas ombak

Setelah kapal-kapal China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) awal tahun ini, Indonesia mengerahkan angkatan lautnya dan kapal-kapal Bakamla (keamanan maritim), beberapa jet tempur F-16 dan mengirim kapal-kapal nelayan dari pulau utama Jawa untuk mengusir serbuan China.

Akhirnya, kapal-kapal China meninggalkan perairan.

Greg Poling, direktur Pusat Studi Strategis dan Internasional Asia Maritime Transparency Initiative yang bermarkas di Washington, mengatakan, China belum "memenangkan" Laut China Selatan.

"Tetapi saya benar-benar berpikir tentang metrik apa pun yang Anda gunakan yang kalah dari AS dan Selatan."

"Negara-negara Asia Timur kalah."

"Apakah Anda ingin melihatnya sebagai masalah hukum internasional atau akses atau sumber daya, jelas China menang di semua lini," paparnya kepadaThe Sydney Morning Herald.

Dia menambahkan, "China berniat mendominasi Laut China Selatan tanpa kekuatan, dengan memaksa negara-negara Asia Tenggara menerima bahwa mereka telah kalah."

"Dengan menunjukkan dominasi China dengan pasukan paramiliter dan penjaga pantai sedemikian rupa sehingga (mereka) harus menerima apa pun kesepakatan yang buruk yang ada di atas meja, dengan demikian merusak kredibilitas AS, Australia, Jepang dan siapa pun."

(Barratut Taqiyyah Rafie)

(Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Natuna jadi garis terdepan sengketa wilayah RI vs Tiongkok di Laut China Selatan")

Baca Juga: Dinilai Bisa Jadi Sumber Pemasukan Negara yang Menjanjikan, BPJS Kesehatan Naik dan 2 Pajak Ini Mulai Berlaku per 1 Juli 2020

Artikel Terkait