Penulis
Intisari-Online.com - Akibat pandemi Covid-19 yang telah menghantam berbagai negara selama berbulan-bulan bukan hanya dirasakan orang-orang dewasa berkaitan dengan kegiatan mencari nafkah.
Anak-anak dan remaja pun terdampak, salah satunya bahwa mereka berhenti datang ke sekolah.
Juga terpaksa harus terus berada di rumah demi mematuhi protokol kesehatan untuk menghindari penularan virus corona.
Beberapa waktu lalu, khususnya di Indonesia, sempat muncul perdebatan tentang waktu masuknya kembali anak-anak ke sekolah.
Pembahasan tersebut juga seiring dengan semakin dekatnya tahun ajaran baru.
Salah satu pihak yang menentang kembalinya para pelajar masuk sekolah dalam waktu dekat adalah Ikatan Dokter Anak Indoneisa (ID).
Melansir Kompas.com, para dokter yang tergabung dalam IDAI meminta pemerintah menunda wacana membuka kembali sekolah.
Mereka menganjurkan untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar secara jarak jauh, sementara menurut IDAI pembukaan sekolah bisa dipertimbangkan jika angkat infeksi Covid-19 telah menurun.
Namun rupanya terkait anak masuk sekolah dapat menjadi lebih pelik jika mempertimbangkan masalah kesehatan mental, selain pertimbangan risiko penularan Covid-19.
Melansir Daily Mail (13/6/2020), Para ahli terkemuka memperingatkan efek jangka panjang pada kesehatan mental remaja akibat penguncian.
Hal tersebut berkaitan dengan interaksi sosial tatap muka yang disebut sangat penting untuk perkembangan otak dan membangun rasa diri antara usia 10 hingga 24 tahun.
Peneliti dari University of Cambridge memperingatkan, merampas orang-orang muda ini (dari interaksi sosial tatap muka) dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan mental, perilaku dan kognitif di kemudian hari.
Dalam tajuk rencana di Lancet, ahli saraf dari universitas bergengsi menyerukan sekolah untuk dibuka kembali bagi kaum muda sebagai prioritas untuk mencegah kerusakan jangka panjang.
Disebutkan jika data resmi menemukan setengah dari orang-orang berusia di bawah 25 tahun telah dipengaruhi oleh 'kesepian terkunci'.
Para ilmuwan menyebut jika masa remaja, yang didefinisikan antara usia hingga 24 tahun, merupakan tahap yang rentan dalam perkembangan seseorang.
Selain perubahan hormon besar dan pubertas, ini adalah titik di mana orang ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman mereka daripada keluarga mereka.
Ini juga merupakan periode dalam hidup mereka ketika mereka paling mungkin mengembangkan masalah kesehatan mental.
Studi sebelumnya telah menyarankan bahwa hubungan berkualitas tinggi tampaknya melindungi orang dari masalah kesehatan mental dan memperkuat ketahanan mereka.
Profesor Sarah-Jayne Blakemore, dari departemen psikologi di University of Cambridge dan penulis utama dari opini tersebut, mengatakan bahwa penguncian dapat menghambat perkembangan otak mereka dan memiliki konsekuensi selama bertahun-tahun yang akan datang.
"Karena dampak pandemi Covid-19, banyak anak muda di seluruh dunia saat ini memiliki lebih sedikit kesempatan untuk berinteraksi tatap muka dengan teman sebaya dalam kehidupan mereka ketika ini sangat penting untuk perkembangan mereka.
"Bahkan jika langkah-langkah jarak fisik bersifat sementara, beberapa bulan mewakili sebagian besar kehidupan seorang anak muda," jelasnya.
Para ilmuwan pun mengungkapkan akan mendesak para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan aspek tersebut.
“Kami akan mendesak para pembuat kebijakan untuk memberikan pertimbangan mendesak terhadap kesejahteraan kaum muda saat ini,".