Penulis
Intisari-Online.com -Hukuman mati merupakan bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan pada seseorang atas pelanggaran yang dia lakukan.
Banyak negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Termasuk di Jepang.
Dilansir dari mirror.co.uk pada Jumat (6/6/2020), hukuman mati masih legal di Jepang, di mana mereka yang dihukum mati akan dieksekusi dengan cara digantung.
Dalam setiap kasus, mata mereka akan ditutup dan kepala mereka akan ditutupi kain hitam.
Hanya adatiga petugas penjara hadir.
Lalu mereka semua akan menekan tombol padasaat yang sama.dan saat itulah tali di leher akan bergerak.
Dengan begini, para petugas itu tidak tahu tombol siapa yang bekerja.
Selain itu, merekayang akan dieksekusi biasanya tidak diberitahu kapan mereka akandieksekusi.
Bahkan keluargatidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal dan hanya diberitahu tentang eksekusi terjadi.
Satu-satunya orang yang diizinkan untuk dilihat narapidana di saat-saat terakhir hidup mereka adalah petugas penjara dan seorang pendeta.
Pada tahun 2018, Masakatsu Nishikawa (61), dieksekusi di Jepang dan kematiannya sangat efisien.
Nishikawa dilaporkandihukum karena membunuh empat wanita dalam pembunuhan yang mengerikan selama lebih dari 25 tahun yang lalu.
Ada juga Koichi Sumida, pria kedua yang dieksekusi Jepang hari itu.
Dia juga bersalah atas pembunuhan. Dia membunuh teman wanitanya.
Mereka lainnya yangdihukum mati di Jepang adalah Shoko Asahara (63).
Dia adalah pendiri kultus Aum Shinri Kyo, yang berada di belakang serangan gas sarin 1995 di kereta bawah tanah Tokyo.
Asahara adalah dalang di balik serangan mematikan yang menewaskan 13 orang dan melukai 6.000 sekitar 23 tahun yang lalu.
Sekitar 13 anggota aliran sesat ini juga telah menerima hukuman mati yang sama.
Bahkan Reuters melaporkan bahwa enam di antaranya dieksekusi pada waktu yang bersamaan.
Eksekusi mati di Jepang sangat rahasia
Di Jepang, eksekusi mati sering menjadiperdebatan kecil. Sehingga prosesnya sangat rahasia.
Sebelum dieksekusi mat, narapidana ditahan di sel isolasi dan hanya diizinkan berolahraga dua kali seminggu.
Boleh bertemu keluarga tapi tetap dengan waktu yangterbatas.
Sebagian besar menghabiskan setidaknya lima tahun menunggu nasib mereka dan beberapa - seperti Nishikawa - menghabiskan beberapa dekade tanpa tahu kapan kematian akan datang.
Koichi Shoji (64) misalnya. Dia digantung di Pusat Penahanan Tokyo.
Sementara Yasunori Suzuki (50) digantung di Pusat Penahanan Fukuoka pada Agustus tahun lalu.
Kedua pria itu telah dihukum karena kasus pembunuhan dan kasus ini menjadi eksekusi pertama yang dilakukan di Jepang tahun ini.
Shoji dilaporkan telah membunuh seorang wanita dan memperkosanya.
Lalu dia kembali membunuh pada tahun 2001. Korbannya adalah pacarnya sendiri.
Setahun sebelumnya dia memperkosa dan melukai wanita lain di Tokyo.
Suzuki sama. Dia telah memperkosa dan membunuh seorangwanita berusia 18 tahun dan membunuh seorang wanita lainnya yang berusia 64 tahun.
Dia juga dihukum karena pemerkosaan dan percobaan pembunuhan terhadap wanita ketiga.
Suzuki melakukan kejahatannya yang mengerikan hanya dalam waktu empat minggu antara Desember 2004 hingga Januari 2005.
Eksekusi kedua pria itu diperintahkan oleh Menteri Kehakiman Jepang, Takashi Yamashita.
"Penyerangan seksual, termasuk pemerkosaan, adalah kejahatan yang tidak termaafkan."
"Kasus-kasus ini sangat mengerikan karena para penjahat juga membunuh korban-korban mereka," ucapTakashi Yamashita.
Antara 2012 dan 2016, ada 24 orang dieksekusi di Jepang. Tetapi masih ada lebih dari 110 orang yang dihukum mati.
Amnesty International telah menyerukan agar eksekusi dan hukuman mati dihapuskan di Jepang.
Ada juga kritik dari Komite PBB yang menyoroti kerahasiaan sistem eksekusi dan tekanan psikologis para tahanan dan keluarga mereka di Jepang.
Tapi pemerintah Jepang tidak setuju.