Kisah Tragis Nodi, Wanita Tuna Susila yang Ditipu dan Dijual Ke Rumah Bordil Terbesar di Dunia di Usia 14 Tahun, Kini Harus Hadapi Kelaparan di Tengah Pandemi Corona

May N

Penulis

ribuan psk di rumah bordil terbesar di dunia ini alami ancaman kelaparan setelah negaranya terapkan lockdown dan tidak ada pelanggan

Intisari-online.com -Pekerja seks komersial (PSK) atau wanita tuna susila (WTS) adalah satu dari ribuan manusia yang menghadapi imbas kelam pandemi virus Corona.

Seperti yang terjadi pada seorang PSK di Daulatdia, Bangladesh berikut ini.

Wanita dengan nama samaran Nodi baru berumur 14 tahun saat ia ditipu dan dijual ke rumah bordil terbesar di dunia.

Kala itu ia sudah menikah dan memiliki bayi.

Baca Juga: Bukan Karena Selingkuh atau Berbuat Salah, Pernikahan Pria Ini di Ambang Kehancuran Hanya Karena Fitur Aplikasi Ini, Ia pun Mengajukan Tuntutan

Ia mencari suaminya yang diketahui sedang berjudi di wilayah Bangladesh Timur.

Nodi menyebutkan ia bertemu seorang supir yang menawarkan bantuan.

Naas, supir tersebut rupanya adalah seorang muncikari.

Ia tega menjual Nodi kepada seorang muncikari lain di kompleks rumah bordil Daulatdia, Bangladesh.

Baca Juga: Kisah Tragis Bintang Film Dewasa Jepang, Karirnya Berakhir dengan Penyakit Mematikan Akibat Berhubungan Intim dengan Banyak Orang, Kisahnya Bikin Terenyuh

"Aku ditipu saat itu," ujar Nodi.

Melansir CNN, Nodi adalah nama samaran yang ia gunakan dengan kliennya.

"Kemudian aku terjebak di sini."

Saat suaminya dan keluarganya mengetahui apa yang terjadi kepadanya, ia menyebutkan mereka menolak untuk membantunya.

Baca Juga: Menjijikkan, 8 Pemuda Ini Direndam di Kolam Penuh Sampah Karena Ketahuan Berjudi dan Pesta Miras di Tengah Pandemi Covid-19

Pasalnya, mereka menolak menanggung rasa malu memiliki urusan dengan rumah bordil tersebut.

Kini, saat usianya sudah 25 tahun, setelah ia dijual dan ditelantarkan, rupanya hidupnya masih bisa lebih naas lagi.

Bangladesh tengah menerapkan lockdown untuk mencegah penyebaran virus Corona.

Nodi kemudian menghadapi masalah baru: kelaparan.

Baca Juga: Terbukti Banyak Istri Dimilikinya, 'Membongkar Rahasia' Kenapa Bung Karno Dapat Pikat dan Taklukkan Banyak Wanita: Di Dalam Tubuh Soekarno Semua Energi Ini Hidup

"Akibat pandemi virus Corona ini, kami hadapi masalah baru," ujar Nodi.

"Kami kehilangan pekerjaan."

Lockdown Bangladesh

Akhir Maret lalu, Bangladesh memulai lockdown nasional untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Baca Juga: Dulunya Seorang Manajer Bergaji Rp100 Juta per Bulan, Siapa Sangka Pria Penjual Es Cincau di Jalanan ini Hidup Lebih Tenang dan Bahagia Sekarang

Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 36 ribu warga di negara tersebut.

Ada 520 pasien yang telah meninggal, seperti tercatat oleh data dari Universitas John Hopkins.

Berbagai bisnis dan jaringan transportasi ditutup di seluruh Bangladesh, dan rumah bordil 'legal' juga telah ditutup.

Sejak tahun 2000, prostitusi telah dilegalkan di Bangladesh, meski banyak yang menganggapnya sangat tidak bermoral.

Baca Juga: Seolah-olah Dapat Hidup di Air: Temui Shayetet 13 Israel, Unit Paling Rahasia nan Berbahaya dari Israel, Spesialis Sabotase dan Pengumpulan Intelijen

Dengan rumah bordil ditutup maka tidak ada klien yang diperbolehkan masuk ke dalam rumah bordil tersebut.

"Rumah bordil kami telah ditutup," ujar Morjina Begum, direktur eksekutif badan amal Bangladesh Mukti Mohilla Samity (berarti Persekutuan Pembebasan Wanita).

"Kami tidak bolehkan pelanggan masuk.

"Sekarang pekerja seks komersial tidak memiliki penghasilan sama sekali."

Baca Juga: Terlahir Bergelimang Harta, Raja Judi Ini Pernah Jatuh Miskin, Kini Meninggal Dunia Meninggalkan 4 Istri dan 17 Anaknya Diprediksi Berebut Harta

Morjina Begum juga dulunya adalah pekerja seks dari kompleks rumah bordil tersebut.

Ia menyebutkan jika pemerintah, polisi dan organisasi nirlaba termasuk organisasinya juga menyuplai kebutuhan bagi para wanita tersebut.

Namun beberapa wanita di rumah bordil tersebut mengatakan kepada CNN International jika bantuan yang mereka terima sama sekali tidak cukup.

Baca Juga: Waspada Virus Corona, Korea Utara Ketahuan Bagikan Dokumen Edukasi Tentang Covid-19 kepada Masyarakat

Hampir 1.500 wanita dan perempuan hidup berjejalan dalam lokasi berukuran 12 ekar, atau 48562.3 meter persegi.

Mereka hidup dalam kondisi mengerikan, daerah kumuh yang sesak, lorong-lorong padat yang dipenuhi dengan gubuk-gubuk besi bergelombang.

Juga banyak toko-toko kecil dan selokan terbuka.

Banyak dari wanita itu melahirkan anak-anak mereka di dalam rumah bordil.

Baca Juga: 5 Hari Berturut-turut Kasus Covid-19 Turun, Puncak Pandemi Sudah Lewat?

Para pengamat mengatakan saat ini ada 500 anak kecil di sana, termasuk 300 yang berumur di bawah 6 tahun.

"Kami tidak mendapatkan (makanan) apapun," ujar Nodi.

"Jika dilanjutkan, anak-anak ini akan mati kelaparan.

"Kami hanya bisa berharap virus ini akan segera pergi."

Baca Juga: Terjebak dalam Kultus saat Berusia 19 Tahun, Wanita Ini Dipaksa Menikahi Pria 85 Tahun, dan Harus Berbagi dengan 63 Wanita Lainnya

Beberapa wanita mengirim anak mereka hidup dengan anggota keluarga mereka atau di badan amal di luar rumah bordil tersebut.

Tindakan itu dilakukan karena mereka tidak ingin anak mereka terjerat dalam kehidupan kelam yang mereka rasakan.

Nodi mengatakan ia juga tidak memiliki kontak dengan anak laki-lakinya yang sekarang berumur 11 tahun.

Anaknya tumbuh dengan mantan mertuanya di Dhaka, yang menurut Nodil lebih baik demikian.

"Kami ingin anak-anak kami jauh dari kami agar mereka dapat menjadi manusia yang lebih baik daripada kami," ujar Nodi.

Biasanya, ada 3000 pria kunjungi rumah bordil tersebut setiap hari.

Banyak dari mereka adalah supir truk atau buruh yang mampir ke Daulatdia yang berdekatan dengan stasiun dan terminal feri sungai Padma.

Baca Juga: 340.000 Personel Dikerahkan, Inilah 25 Daerah yang Mulai Bersiap Menerapkan 'New Normal'

Sungai Padma adalah sungai yang terkoneksi dengan sungai Gangga.

Saat sudah menginjak sore hari, wanita dan perempuan berdiri di lorong sempit saat para pria lewat.

Ketika negosiasi sudah komplit, klien masuk ke dalam kamar berukuran sempit yang terdiri dari ranjang corak mencolok dan lemari kecil.

Para pria tersebut membayar 2 dolar saja untuk setiap kepuasan yang mereka nikmati, atau sekitar Rp 28.000.

Jika mereka menginap mereka hanya perlu membayar 20 dolar atau sekitar Rp 280.000.

Nodi mengatakan awalnya ia bisa mendapatkan 60 dolar per hari, atau sekitar Rp 840.000, terkadang hanya Rp 280.000 dan terkadang ia tidak mendapatkan sepeserpun.

"Sekarang, semua bergantung kepada Tuhan."

Baca Juga: Covid Hari Ini 27 Mei 2020: Kabar Gembira Jelang 'New Normal,' Usai Disuntik Vaksin ini Sebagian Besar Relawan Tunjukkan Kekebalan Pada Corona

Masing-masing penjaja seks di rumah bordil tersebut harus membayar uang sewa harian kepada muncikari mereka, yang menjadi perantara dengan lusinan tuan tanah di wilayah tersebut,

Saat ada perempuan datang lewat orang yang menjualnya, mereka dibanderol harga 200-300 dolar (Rp 2.800.000-4.200.000).

Kemudian mereka dipaksa membayar hutang tersebut kepada muncikari yang menampung mereka.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait