Penulis
Intisari-Online.com -Mungkin kebanyakan rakyat Korea Utara ingin melarikan diri dari negara itu karena semua gerak-gerik dan hak mereka diatur oleh negara.
Namun, tentu semua orang tahu melarikan diri dari Korut berarti mempertaruhkan nyawa mereka.
Yang berhasil melarikan diri barangkali bisa bernapas lega setelah melalui perjuangan yang melelahkan, namun bagi yang tertangkap, dia akan dihukum dengan sangat kejam.
Oh Chong Song menjadi perbincangan ketika melarikan diri ke wilayah Korsel pada November 2017.
Saat itu, dia selamat meski menderita lima luka tembak.
Kepada harian Jepang Sankei Shimbun via Sky News Senin (19/11/2018), Oh berkata dia tidak mempunyai kesetian kepada Kim.
"Kelaparan masih menjadi isu utama. Jika tak punya uang atau kekuasaan, Anda bakal meninggal di selokan," ungkap Oh dilansir CNN.
Dia berujar ketika masih bertugas sebagai polisi, dia pernah melepaskan pelaku kejahatan setelah mendapatkan sejumlah uang.
Jika tidak mendapatkan uang sesuai dengan permintaannya, Oh mengatakan si pelaku bakal mendekam di penjara dalam waktu yang lama.
Lebih lanjut, Oh membantah laporan media Korsel bahwa dia menjadi buronan di Korut karena terjerat kasus pembunuhan.
Dia bercerita saat hari pelariannya, dia minum-minum untuk setelah terlibat masalah dengan sejumlah rekannya.
Saat kembali ke posnya, dia menerobos pos pemeriksaan. Karena takut dieksekusi, dia memutuskan untuk melarikan diri melalui zona demiliterisasi ke wilayah Korsel dengan dihujani tembakan.
Baca Juga: Migrasi Ubur-ubur Serbu PLTU Paiton, Probolinggo Terjadi Lagi, 'Sudah Sejak Tahun 1970'
Dia mengungkapkan si penembak merupakan teman-temannya sendiri. Namun Oh mengaku memaklumi tindakan mereka dengan berujar dia bakal melakukan hal sama jika di posisi mereka.
"Jika mereka tidak menembak saya, maka mereka bakal mendapat hukuman," kata Oh yang tak bersedia mengungkap masalah apa yang dialaminya hingga berujung pelariannya.
Kementerian Unifikasi Korsel yang menangani hubungan antar-Korea, termasuk aksi pelarian tentara Korut, menolak berkomentar.
Selain berakhir dieksekusi mati, ada yang hidup tersiksa dan dipaksa melakukan pekerjaan berat hingga akhirnya mati karena tersiksa di Korea Utara.
Misalnya kisah Jeong Kwang-il, seorang pria Korea Utara yang berdagang dengan Korea Selatan dan Tiongkok.
Karena bergaul dengan musuh Korea Utara, Jeong dituduh sebagai mata-mata, akhirnya diseret dan dijebloskan ke penjara.
Dia disiksa dengan harapan memberikan pengakuan, dipukuli sangat parah hingga semua giginya parah dan bahkan kepalanya dibuat menderita luka permanen.
Jeong juga disiksa dengan teknik "siksaan merpati" di mana tangannya diborgol di belakang tubuhnya digantung dengan borgol sedang kakinya menggantung di tanah.
Dalam posisi tersebut, Jeong terus dibombardir dengan siksaan selama berhari-hari.
"Sangat menyakitkan, saya lebih baik mati, daripada mengakui kejahatan yang tidak pernah saya lakukan," katanya dikutip dariNY Daily News.
Selama 10 bulan Jeong mendapatkan siksaan.
Dia dikirim ke Yodok, salah satu penjara terbesar di Korea Utara yang menampung sekitar 50.000 tahanan.
Dalam gerbang penjara itu, ada tulisan yang berbunyi, "Mari kita korbankan hidup kita untuk melindungi kepemimpinan revolusioner dari pemimpin yang terhormat, Kim Jong-Il (ayah Kim Jong-Un)."
Banyak orang yang telah mati di kamp tersebut.
Para tahanan dibangunkan pada pukul 05.00 pagi, kemudian diberi semangkuk nasi, kacang dan jagung lalu dipaksa bekerja.
Pada musim semi, para tahanan dituntutmenuju ke sebuah ladang yang jaraknya sangat jauh, setiap hari atau diberi makan sedikit.
Pada musim dingin, para tahanan harus memotong kayu-kayu besar yang panjangnya lebih dari 4 meter dan membawanya sepanjang 3 kilometer.
Banyak orang yang mati karena kecelakaan, dan hampir sebagian besar mati kelaparan karena tidak bisa bekerja.
Sedangkan Jeong tetap dipenjara selama 3 tahun sampai seorang penjaga senior memutuskan bahwa dia tidak bersalah.
Kemudian setelah dibebaskan dia memilih pergi dari rumahnya bersama keluarganya dan melarikan diri ke Korea Selatan.
Afif Khoirul M