Penulis
Intisari-Online.com - Ini adalah kisah yang terjadi di zaman sekarang.
Pada bulan Juli lalu,boss sebuah kelompok gangster meninggal dunia. la merupakan tokoh penting.
Perlu Anda tahu,di Jepang di mana gangster dipandang tinggi oleh sebagian masyarakat.
la baru dimakamkan Oktober yang lalu.
Inilah cerita lebih banyak mengenai dunia gangster Jepang.
“Taoka-san doko desuka?" tanya saya pada supir taxi di stasiun pusat di Kobe.
Bagi telinga orang Jepang artinya kira-kira: "Di manakah tempat tinggal Taoka?".
Supir menatap orang asing yang tegas-tegas menyebut nama Taoka itu dengan keheranan.
Di hari yang panas, si orang asing ini mengenakan setelan berwarna gelap dengan dasi hitam.
Tiba-tiba supir itu tersenyum. Dasi hitam, Taoka, aha, orang ini pasti ingin melawat ke tempat Taoka yang baru meninggal, pikir supir.
Di mana tempatnya? Setiap orang di kota pelabuhan Kobe itu pasti tahu. Kobe letaknya hanya 3½ jam ke arah selatan Tokyo.
Taoka orang terkenal di tempat itu!
Usianya 68 tahun. Sudah lama mengidap penyakit jantung dan meninggal pada bulan Juli yang lalu karena serangan jantung.
Ini kematian yang sangat biasa bagi orang yang dijuluki "beruang" oleh kawan-kawannya dan "Al Capone" Jepang oleh surat-surat kabar.
Kazuo Taoka adalah seorang Yakuza. Ya berarti 8, ku 9 dan za 3. Total berjumlah 20.
Dan 20 ini selalu kalah pada Hanafuda, yaitu semacam permainan dengan 48 kartu.
Mereka adalah kelompok yang dianggap berada di luar masyarakat Jepang umumnya.
Yakuza adalah seorang gangster. Dan Kazuo Taoka yang terbesar di antara mereka.
Dia memegang pimpinan Yamaguchi-Gumi sejak berusia 33 tahun.
Kehidupan berakhir dalam lubang hitam
Seperti halnya Mafia, Yakuza juga terorganisir dalam satu keluarga besar. Hanya dalam hal ini Jepang kembali menunjukkan kehebatannya.
Menurut polisi Jepang, ada 11.878 orang tergabung dalam Yamaguchi-gumi, kelompok terkuat dari seluruh Yakuza.
Tidak ada "oyabun", atau "Bapak" dari kelompok bandit itu yang lebih kepala batu, brutal, dan licik daripada Taoka.
Di tahun tigapuluhan saja dia berhasil menghentikan pemogokan para buruh kapal hanya dengan menggunakan pedang pendek.
Kini sepeninggalnya, dia mewariskan sebuah "Benteng Kekuatan" dengan omzet Rp63,8 milyar setahunnya, dengan 113 direktur dan manager.
Kini bandit besar dan kecil itu berdatangan untuk memberikan penghormatannya yang terakhir.
Kepolisian Kobe mengatur kendaraan-kendaraan 450 SEL, Bentley dan Rolls-Royce para bandit di jalah sempit sekitar rumah Taoka.
Penguburan seorang gangster pun harus dijaga keamanannya di Jepang.
Tanpa gairah, seorang perwira polisi mendiktekan kepada sersannya, nama-nama Yakuza yang hadir di sana.
Tepatnya 1161 orang yang terdiri dari pembunuh, penyelundup senjata, pedagang narkotika, lintah darat, penjudi dan germo.
Kadang-kadang polisi itu menepuk-nepuk jubah hitam para pengawal boss itu. Namun saat itu mereka benar-benar diliputi suasana duka.
Dalam rumah duka, tamu-tamu antre melewati peti besar yang pada bagian dekat kepala diberi "jendela" kecil.
Melalui lubang ini beberapa orang mencium mulut jenazah yang sudah dingin itu.
"Tsumi o nikunde, hito o nikumazu,” kata orang Jepang."
"Kutuklah perbuatannya, jangan orangnya".
Bangsa Jepang memang menganut moral tersendiri.
Kesalahan bukan terhapus oleh penyesalan melainkan dengan dilupakan.
Menurut kepercayaan agama Shinto, kehidupan berakhir dalam sebuah lubang hitam.
Setelah itu tidak perlu lagi memikirkan kesalahan-kesalahan untuk dipertanggungjawabkan pada Pengadilan Akhir Dunia.
Siapapun dia, apakah direktur sebuah perusahaan besar ataupun pemimpin gangster, apapun yang dilakukannya, mereka lakukan itu untuk perusahaan yang dipimpinnnya, entah itu perusahaan mobil ataupun kekerasan.
Bapak Yakuza pertama adalah Banzuin Choberi.
Empat ratus tahun yang lampau, bersama dengan anak buahnya dia melindungi para orang kaya di desa nelayan Edo (Tokyo sekarang) dari perampok dan pembunuh.
Untuk itu dia menerima imbalan uang yang besar dan dianggap semacam Robin Hood.
Bahkan di abad ke-18, pemerintah Jepang mengangkatnya sebagai semacam pembantu polisi.
Setiap kelompok memperoleh sebuah "shima", "pulau" dalam kota. Di daerah itu Yakuza praktis pemegang monopoli kekuasaan.
Dengan demikian kejahatan kecil-kecilan hilang, karena kaum Yakuza tidak mau merusak hubungan mereka dengan polisi.
Penduduk pun merasa aman dan kehidupan gangster digambarkan sangat romantis. Ini berlangsung hingga sekarang.
Di mana-mana pos polisi
Hirarki keras dalam keluarga besar Yakuza ini menarik bagi orang-orang yang sudah dikucilkan dari masyarakat.
Di sini mereka menemukan nilai dasar kehidupan masyarakat Jepang: Perlindungan, disiplin, setia tanpa memikirkan kepentingan diri sendiri, kalau perlu sampai mati.
"Yakuza merupakan bagian dari PT Jepang kita sekarang", kata penulis Hiroshi Kimura.
"Mereka adalah anak-anak sebuah keluarga besar."
"Haruskah kita menyingkirkan mereka, hanya karena perbuatan mereka yang buruk?"
Takeo Miyama, kepala polisi Jepang berpandangan lain: "Bagi saya bagaimanapun mereka tetap gangster dan saya akan berusaha menangkap mereka sebanyak mungkin."
Bulan juni yang lalu, dengan pasukan istimewanya dia berhasil menyergap 2.700 gangster, menyita 118 senjata, 74 pedang samurai dan alat-alat pembuat kerusuhan lain seharga Rp406 juta.
Tetapi beberapa hari kemudian, kebanyakan sudah dilepaskan lagi. Ini berkat boss mereka yang menggunakan relasinya.
Menurut statistik polisi, semua ada 103.955 bandit yang terorganisir dalam 2487 kelompok.
Ini terjadi di negara industri yang tingkat kriminalnya paling rendah.
Sementara di Jerman Barat yang jumlah penduduknya hanya setengah Jepang, setiap tahun terjadi sekitar 3,5 juta kejahatan.
Di Jepang tidak sampai setengahnya.
Jalan-jalan di Tokyo aman. Ini bukan berkat kehebatan polisinya yang mempunyai pos penjagaan di setiap perempatan jalan.
Tetapi juga karena adanya rasa kesadaran yang tinggi dari tiap individunya akan tradisi menghormati pemerintah, tanggung jawab dan hormat akan keluarga.
Dari 1843 pembunuhan yang terjadi tahun lalu di Jepang sepertiganya terjadi pada Yakuza.
Kebanyakan korban jatuh pada waktu terjadi perkelahian antar bandit.
(Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Desember 1981)