Penulis
Intisari-Online.com - Virus corona menyerang orang-orang di berbagai belahan dunia tanpa pandang bulu.
Berapa pun usianya, apapun jenis kelaminnya, juga pangkat atau profesi.
Bahkan, seorang ahli kesehatan di Inggris menjadi salah satu dari jutaan orang di seluruh dunia yang jadi 'korban' virus ini.
Dia adalah Michael Saag, seorang pakar penyakit menular yang telah menerbitkan penelitian tentang HIV/AIDS sejak 1980-an.
Kini ia menjabat sebagai dekan asosiasi untuk kesehatan global di Universitas Alabama di Birmingham, serta direktur Pusat Penelitian AIDS UAB.
Saag menjadi salah satu otoritas terbaik Inggris terutama dalam perang melawan pandemi Covid-19 yang kini menjadi harapan masyarakat Inggris.
Pria ini baru saja berhasil sembuh dari penyakit Covid-19 itu sendiri.
Melansir NBC News (19/4/2020), Saag didiagnosis positif Covid-19 lebih dari sebulan yang lalu, yaitu pada 16 Maret.
Kini, dia sudah pulih sepenuhnya dan kembali merawat para pasien Covid-19 lainnya di sebuah klinik di Brimingham.
Pria yang menggambarkan Covid-19 sebagai penyakit 'horor' yang meliputi demam, nyeri otot, kelelahan, dan kesulitan berpikir ini punya kisah menarik dari perjuangannya melawan virus corona di tubuhnya sendiri.
NBC News berbicara dengan Saag baru-baru ini tentang pengalamannya dengan penyakit Covid-19, yang dia pulihkan tanpa perawatan di rumah sakit.
Tentang apa yang dirasakannya, Saag mengungkapkan jika perjalanannya menghadapi penyakit tersebut seperti 'roller coaster' yang menakutkan, yang mana setiap malam mengerikan baginya.
Sementara itu, menurutnya pagi hari lebih baik, sehingga saat itulah ia berpikir bahwa penyakit itu akan hilang. Sayangnya, kemudian rasa sakitnya akan muncul kembali.
Dia mengalamiya selama delapan hari berturut-turut.
Situasi semakin mengerikan baginya karena ia adalah seorang dokter yang tahu apa saja yang mungkin terjadi.
Saag pun mengaku hanya duduk terjaga menghitung setiap menitnya sampai hampir pagi.
Dalam diamnya, ia bertanya-tanya apakah pernapasannya akan menjadi lebih buruk. Menurut Saag di sini salah satu titik 'horor' itu.
Soal perawatan, ia tidak bisa melakukan banyak hal karena memang belum ada perawatan atau obat yang telah terbukti.
Namun, dia mencoba dua obat yang disarankan sebuah penelitian, yaitu hydroxychloroquine dengan azithromycin.
Karena bagaimana pun belum ada pengobatan yang terbukti, membuat Saag tetap khawatir bahwa dia bisa saja menuju ke arah yang salah.
Maka, untuk menggunakan dua obat tersebut, Saag lebih dulu mendiskusikannya dengan 10 pakar rekannya.
Rekan-rekan yang dihubunginya mempersilahkan Saag untuk mencoba.
Ia pun mencoba kedua obat tersebut. Namun, di sinilah ia merasa malu pada diri sendiri karena tindakannya.
Hal berbahaya yang dilakukannya baru disadari Saag setelah kondisi kesehatannya lebih baik, yaitu terkait caranya mengonsumsi dua obat tersebut.
"Saya benar-benar tidak bisa memberi tahu Anda itu membantu atau menyakitkan.
"Kalau dipikir-pikir lagi, sekarang saya sudah bisa melihat lebih dalam lagi, saya agak malu pada diri saya sendiri, karena saya bisa menempatkan diri saya dalam bahaya dalam hal kematian mendadak.
"Itu bisa terjadi ketika Anda menggunakan dua obat tertentu bersama-sama, karena mereka dapat menyebabkan aritmia yang fatal , dan saya tidak dimonitor dengan baik," ungkapnya.
Menurutnya, di sisi lain diperlukan uji coba untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang bisa dilakukan atau tidak dilakukan oleh obat.
"Sampai kita memilikinya, kita benar-benar mencoba menerbangkan pesawat dalam kabut tanpa instrumen," katanya.
Dalam obrolannya, Saag pun mengungkapkan bagaimana gejala Covid-19 yang dialaminya.
Menurutnya, ada hal yang unik dari gejala yang terjadi. Yaitu bahwa gejala infeksinya tidak menyerang sekaligus, melainkan bertahap.
"Bagi sebagian orang, mereka mungkin tidak memiliki gejala sama sekali atau mereka dapat menghilangkannya dalam lima hari.
"Tetapi bagi kebanyakan orang, pada lima hingga 10 hari, saat itulah gejalanya meningkat, dan biasanya memburuk di malam hari: demam, nyeri otot, kelelahan, sakit kepala," ungkap Saag.
Selain gejala tersebut, kehilangan indra penciuman juga menjadi gejala yang unik karena tidak terjadi pada semua orang.
Bahkan, ia meyakini bahwa kehilangan penciuman adalah benar gejala virus corona.
"Sampai terbukti sebaliknya, mereka menderita COVID, tidak ada pertanyaan tentang itu," tegasnya.
Menyinggung tentang kekebalan pada orang yang telah terinfeksi virus ini, Saag mengatakan tidak memiliki keyakinan 100 persen, tetapi menurutnya kemungkinan besar akan terjadi kekebalan protektif.
"Jika itu benar, maka itu adalah berita bagus karena orang-orang yang telah terinfeksi terlindungi, dan itu akan membantu kita keluar dari ini (pandemi Covid-19) dalam jangka panjang.
"Tetapi yang lebih penting, itu berarti vaksin dapat bekerja," katanya.
Jika vaksin bisa bekerja melindungi orang-orang, maka menurutnya 'permainan' akan berubah.
Juga memungkinkan kita untuk kembali ke 'kehidupan normal' apabila tersedia secara luas dan efektif.