Ia ditunjuk Presiden Soekarno memegang kendali Ibu Kota setelah Indonesia secara resmi diakui kedaulatannya usai Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Kondisi politik nasional saat itu masih labil.
Sementara itu, Soemarno Sosroatmodjo sudah lebih dulu merasakan tampuk kepemimpinan DKI pada 1960-1964.
Empat tahun menjabat, ia digantikan Henk Ngantung, wakilnya selama 4 tahun itu.
Kepemimpinan periode kedua Soemarno yang berlangsung tak sampai 12 bulan juga sebatas menggantikan Henk Ngantung yang dicopot tiba-tiba dari posisinya pada Juli 1965.
Rezim Orde Baru melabeli Henk Ngantung sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Label itu jadi semacam wabah sampar yang diceritakan filsuf Prancis-Aljazair Albert Camus.
Cap “pengikut PKI” mampir begitu saja tanpa sebab, melekat tanpa dapat disembuhkan, dan membunuh korbannya yang tak tahu apa-apa.