Find Us On Social Media :

Yuk Mengintip Nasib Lewat Pawukon si Horoskop Jawa, Katanya Lebih Akurat dari Zodiak dan Shio

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 22 April 2018 | 16:15 WIB

Ada juga satu dua orang mengatakan uraian dalam wuku-nya itu tidak sesuai. Meskipun begitu, menurut Darmodipuro, reaksi penolakan spontan itu terkesan lebih sebagai perwujudan mekanisme self-defence yang ada dalam diri setiap manusia, ketika sifat-sifat buruknya terungkap.

Masih berkaitan dengan Pawukon, Darmodipuro mengatakan bahwa dalam setiap bulan hampir selalu ada yang disebut hari buruk yang dialami oleh wuku-wuku tertentu dalam perjalanan satu tahun.

Hari-hari buruk itu disebut dengan istilah taliwangke dan samparwangke (wangke artinya bangkai).

Menurut kepercayaan Jawa, pada hari itu mereka yang kebetulan wuku-nya terkena taliwangke atau samparwangke, sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang berisiko, seperti perjalanan jauh atau membuat keputusan penting yang menyangkut kehidupannya.

Believe it or not, pada tanggal-tanggal yang menurut perhirungan Darmodipuro merupakan hari buruk itu selalu ada peristiwa yang tidak terduga. Termasuk beberapa petaka yang menimpa bumi ini, seperti musibah Terowongan Mina tahun 1990 yang menewaskan 1.426 orang, jatuh pada hari taliwangke.

Juga meledaknya pesawat Challenger, 28 lanuari 1986, dan terbakarnya Keraton Surakarta, 31 Januari 1985. Contoh kiwari yang masih hangat adalah, pada 16 Maret 1997 Pak Harto mengambil sumpah Kabinet Reformasi Pembangunan.

Tanggal itu jatuh pada hari taliwangke. Maka yang terjadi kemudian, jalannya pemerintahan amburadul, yang pada akhirnya tumbang dilibas arus reformasi.

Baca juga: Mengikuti Ramalan, Pria Ini Bersepeda Sejauh 9.656 Km Demi Bertemu Cinta Sejatinya

Nyaris hilang, padahal universal

Diakui atau tidak, pengetahuan tentang Pawukon serta primbon Jawa ini sebetulnya nyaris terkubur oleh derasnya tren ke-Barat-Barat-an di kalangan masyarakat Jawa.

Apalagi nilai modernitas yang telanjur diserap kalangan muda sering membuat mereka semakin tercerabut dari akar tradisi leluhur. Hanya lantaran gengsi, semua hal yang berbau tradisional diemohi karena dianggap ndeso dan klenik.

Padahal ketika dihadapkan pada suatu kenyataan hidup yang tidak menenteramkan, diam-diam mereka mencari pegangan psikologis. Bagaimanapun juga, orang Jawa yang pada dasarnya berakar pada budaya agraris-mistis, termasuk mereka yang sudah hidup di kota-kota besar, akhirnya berpaling juga mengikuti naluri tradisionalnya.