Find Us On Social Media :

Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia

By Intisari Online, Minggu, 22 April 2018 | 11:15 WIB

Siang harinya kami memperoleh nasi goreng porsi penuh. Itulah pertama kalinya kami memperoleh makanan layak sejak diinternir. Tetapi karena dicekam rasa takut, kami tidak berselera. Sepasang pembantu pria dan wanita memperkenalkan diri. Katanya, mereka akan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga bagi kami; memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Mereka memandang penuh pengertian dan maaf. Ya, mereka juga tahu apa yang kami takutkan. Malam itu aku tak bisa tidur, demikian pula gadis-gadis yang lain. Akhirnya, kami semua berbaring di ranjang besar, saling berdekapan untuk mencari penghiburan dalam doa.

Hari berikurnya datanglah beberapa perwira tinggi Jepang. Kami semua dipanggil ke kamar duduk. Komunikasi dengan orang-orang Jepang selalu sulit. Tentara yang terdidik atau berposisi tinggi, kebanyakan berbicara bahasa Inggris sedikit-sedikit. Beberapa di antaranya telah cukup mengerti bahasa setempat, hingga kami mengerti sedikit. Mereka memberi tahu, kami dibawa ke tempat itu untuk kenikmatan seksual perwira Jepang. Dengan kata lain, kami berada di sebuah bordil Jepang!

Percobaan melarikan diri hanya sia-sia belaka karena rumah ini dijaga ketat. Di rumah itu kami diharuskan memenuhi satu tujuan, yakni melayani nafsu seks orang Jepang. Jadi, kami dipaksa menjadi budak prostitusi.

Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. Ini berlawanan dengan hak-hak asasi manusia! Melanggar Konvensi Jenewa. Kami lebih baik mati daripada jadi budak seks. Orang-orang Jepang itu hanya tertawa-tawa. Mereka mengatakan, telah menguasai kami. Jadi, mereka dapat berbuat semaunya.

Hari berikutnya kami melihat rumah itu ditata sebagai kamar tamu. Di situlah tentara Jepang mengobrol dan bermain kartu dengan gadis pilihan mereka. Kami diperintahkan membuat foto untuk kemudian dipasang pada papan di kamar tamu. Lalu datanglah kiriman bunga. Setiap gadis memperoleh jambangan bunga di kamar masing-masing.

Sementara rumah ini telah berubah menjadi sebuah bordil, di kamar mandi terdapat barang-barang aneh. Aku tak punya gambaran benda-benda apa itu. Atau untuk apa barang itu. Malam pembukaan tiba. Kami semua sangat takut. Belum pernah aku merasakan kecemasan yang begitu melumpuhkan. Kami semua masih perawan dan polos. Pada malam pembukaan itu, "harga" kami cukup tinggi sebab kami perawan.

Diancam pedang

Aku tak akan pernah melupakan kecemasan itu. Rasanya derita itu tetap bersamaku seumur hidupku - hingga hari ini. Aku tahu hanya doa yang dapat menolong kami.

Yang jelas, hari demi hari semakin banyak anggota militer Jepang mendatangi rumah itu. Mereka berbicara berisik dan tertawa. Sepatu bot berderapan di lantai. Kami diperintahkan masuk ke kamar masing-masing. Tapi kami menolak. Kami berdekapan dan saling melindungi. Seluruh tubuhku telah habis dirajam ketakutan.Juga setelah 50 tahun, aku masih menghayati perasaan kecemasan total yang mengaliri tubuhku. (Pada saat-saat yang aneh perasaan itu membanjiriku. Kerap bila aku sedang menonton TV, atau melihat film perang lama, aku menjadi terbangun dengan mimpi buruk. Masih terasakan juga bila terbaring di ranjang di malam hari. Tetapi yang terburuk, setiap kali kecemasan kembali menyergap bila suamiku tidur bersamaku. Aku tidak pernah dapat menikmati hubungan badan!)

Tibalah saat yang paling mengerikan. Satu per satu gadis-gadis itu diseret ke kamar tidur masing-masing. Sambil menangis dan meronta-ronta, mereka memohon, berteriak, menendang-nendang, dan melawan sekuat tenaga. Demikian hal itu berlangsung terus, hingga akhirnya mereka dengan paksaan dimasukkan ke dalam kamarnya.

Setelah beberapa saat bersembunyi di bawah meja kamar makan, aku sempat mendengar tangisan dari kamar-kamar tidur itu. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang karena cemas. Salib kayu yang kuselipkan di sela ikat pinggang kugenggam erat-erat. Akhirnya, aku ditemukan dan diseret dari bawah meja.

Di hadapanku berdiri seorang Jepang besar gemuk dan botak. la memandangku sambil menyeringai. Aku menendang tulang betisnya. la tetap berdiri tertawa-tawa saja. Aku terus melawan, menendang, dan berteriak protes. Tetapi sia-sia belaka. Aku memekik "Niet doen, niet doen", kemudian dalam bahasa Melayu "Jangan, jangan". la menyeretku ke kamar. Setiba di kamar tidur, ia menutup pintu. Aku lari ke pojok kamar. Dalam bahasa campuran Inggris dengan Melayu aku mencoba menjelaskan, kalau aku berada di situ bukan atas kehendakku. Dia tidak berhak untuk melakukan hal itu terhadap diriku.