Find Us On Social Media :

Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia

By Intisari Online, Minggu, 22 April 2018 | 11:15 WIB

Intisari-Online.com - Bulan Agustus 1995 di Tokyo diadakan Forum Internasional Ganti Rugi Perang untuk wilayah Asia Pasifik, membahas dosa tentara Dai Nippon terhadap rakyat Indonesia dan ganti rugi kepada pribadi-pribadi yang dirugikan pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945) termasuk para mantan jugun ianfu (wanita penghibur).

Berikut ini pengakuan Jeanne Ruff O'Herne, mantan ianfu yang kemudian jadi guru di Australia, dalam tulisannya "Vijftig jaar zwijgen" (Lima Puluh Tahun Bungkam) di buku Oorlogs documentatie '40 - '45.

Minggu, 8 Maret 1992, tepat di hari peringatan tahun ke-50 penyerbuan pasukan Jepang ke wilayah Indonesia, aku meletakkan karangan bunga di Monumen Perang Adelaide, Australia. Aku merupakan satu dari ribuan warga negara Belanda yang diinternir di kamp tahanan Jepang selama PD II.

Kini setelah bungkam selama 50 tahun, barulah aku berani mengungkapkannya. Selama itu aku ingin berteriak tapi tak mampu. Sepanjang setengah abad hidupku didera mimpi buruk. Aku menderita penyakit yang tak kunjung sembuh.

Baca juga: Heboh Bayi Xiaomi di Lampung, Namanya Bahkan hingga Didengar oleh Presiden Xiaomi di China

Malam-malam tak dapat tidur. Kenangan mengerikan itu terlalu dalam tertanam di lubuk jiwaku. Tapi aku tak pernah membicarakan kisah hitam hidupku. Bahkan dengan keluargaku sendiri pun aku tak bisa.

Kini aku akan mengisahkan cerita buruk ini. Karena aku telah memaafkan orang-orang Jepang atas perlakuannya terhadap diriku. Hanya dengan pengampunan, seseorang dapat disembuhkan.

Sebagai tanda damai dan pengampunan aku mengundang wakil bangsa Jepang, menemaniku meletakkan bunga. Aku telah mengampuni tindakan jahat mereka, meski tidak akan pernah dapat melupakannya.

Baca juga: Hanya dengan Melihat Wajahnya, Ternyata Kita Dapat Tahu Kaya atau Tidaknya Seseorang

Bahagia 19 tahun

Lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Januari 1923, aku tumbuh dan bekembang di daerah Cipiring, sebuah perkebunan tebu yang masih diperintah Hindia Belanda. Aku adalah anak ketiga di antara lima bersaudara.

Di tengah limpahan kasih sayang orang tua, aku dididik dalam tradisi agama yang kuat. Dalam kesenanganku, setiap malam sebelum tidur aku selalu melihat ayah berdoa berlutut di dekat ranjangnya. Terbukti kemudian, cinta akan doa amat membantuku melalui tahun-tahun peperangan.

Ayah, Calestin, seorang pemain biola andal, sedangkan ibuku, Josephine, seorang pianis berbakat. Di usia 23 tahun, ibu berangkat ke Jawa dari Belanda sebagai mempelai baru. Nenek meninggal 4 bulan sebelum kelahiranku. Tapi aku mendapat warisan dari nenek. Nama Jeanne itu nama nenek, juga namaku.

Baca juga: Mafia Amerika Tak lagi Menyeramkan, Inilah Lima Gangster Terbesar di Dunia Saat Ini

Setiap liburan sekolah, aku selalu mengunjungi Kakek Henri (71) di rumah peristirahatan di lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Kami sekeluarga berlibur bersama sepupu kami dari Batavia. Semoga di surga ada sebuah sudut kecil seperti rumah Kakek Henri di Bandungan.