'Beli Rokok Ratusan Ribu Tiap Bulan Sanggup, Bayar BPJS Rp25.000 Kok Ngaku Miskin?'

Ade Sulaeman

Penulis

Belanja rokok masyarakat Indonesia termasuk besar dibanding negara lain. Bahkan, menduduki peringkat kedua setelah belanja padi-padian (beras).

Intisari-Online.c om - Belanja rokok masyarakat Indonesia termasuk besar dibanding negara lain. Bahkan, menduduki peringkat kedua setelah belanja padi-padian (beras).

Mirisnya sebagian besar masyarakat dengan belanja rokok tinggi adalah masyarakat miskin.

Hal itu diungkapkan Ketua Aliansi Bupati/Walikota Peduli Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Hasto Wardoyo, sebelum menutup pelatihan Regulasi Kawasan Tanpa rokok yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah, Kamis (19/4/2018).

"Ini kan tidak masuk akal. Bayangkan saja, mereka bayar BPJS Rp 25.000 per bulan saja tidak mampu, harus negara yang bayar, tapi bisa beli rokok sendiri Rp 350 ribu per bulan. Ini yang bikin gemas," katanya.

Baca juga:Tinggalkan Cara Lama, Ini Cara Mudah Masukkan Benang ke dalam Lubang Jarum

Hasto yang juga Bupati Kulonprogo itu mencontohkan, di wilayah yang dipimpin, Pendapat Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 260 miliar, namun rakyat membeli rokok mencapai Rp 96 miliar.

Tidak hanya untuk beli rokok saja, namun masyarakat juga masih suka foya-foya.

"Baru mendapat rejeki sedikit saja, sudah langsung ke dealer beli mobil atau motor, uangnya malah dikasih ke Jepang," cetusnya.

Pihaknya terus gencar melakukan sosialisasi di banyak daerah agar membuat peraturan daerah tentang KTR.

Baca juga:Di Balik Mewahnya Rumah Bos Miras Oplosan Cicalengka, Tersembunyi Bunker Tempat Meracik Minuman Pembunuh Puluhan Orang

Sosialisi itu di dasarkan pada dua hal, yakni ekonomi dan kesehatan.

Upaya ini tidak lain agar jangan sampai masyarakat lebih besar membelanjakan rokok dibanding kebutuhan lainnya.

Hasto menyebutkan, jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki peraturan tentang KTR masih sedikit. Dari 518 daerah, baru ada 111 yang memiliki regulasi KTR.

Dari jumlah itu, sebagian besar di pulau Jawa dan di Jawa Tengah sendiri baru ada 9 dari 35 kota/kabupaten.

Baca juga:Tinggalkan Cara Lama, Ini Cara Mudah Masukkan Benang ke dalam Lubang Jarum

Bahkan, katanya, ada daerah yang menolak regulasi KTR dengan berbagai alasan.

"Alasan setiap daerah (menolak KTR) macam-macam, ada karena politis, mereka masih takut-takut karena baru menjabat. Ada juga yang terang-terangan pikirannya tentang iklan, takut kehilangan pendapat pajak iklan, ada yang takut sama petani tembakau, dan sebagainya," ungkapnya.

Menurutnya, sebenarnya kendala-kendala itu tidak perlu dikhawatirkan, karena pajak rokok tidak sebanding dengan dampak jangka panjang yang dihadapi.

"Di Kulonprogo, saya sudah menerapkan KTR sejak 2014 dan tidak boleh ada iklan rokok. Toh, pemasukan dari sumber lain masih banyak bahkan berlipat-lipat. Jadi jangan takut kehilangan pajak rokok," tegasnya.

Baca juga:Inilah Partai Peserta Pemilu 2019 dengan Uang Terbanyak Menurut Hasil Survei

Kemudian, terkait dengan petani tembakau, Hasto meminta kepala daerah untuk tidak memusuhi mereka. Sebab, Indonesia masih membutuhkan tembakau lokal

"Saya selalu sampaikan jangan musuhi petani tembakau, karena mereka masih dibutuhkan. Indonesia membutuhkan 330 ribu ton tembakau per tahun. Sekarang yang ditanam oleh mereka baru 180 ribu ton, sisanya impor," bebernya.

"Biarlah mereka tumbuh sampai angka ekspor dan impor itu seimbang," sambungnya.

Pada kesempatan itu, Hasto juga mempersilakan daerah untuk bisa menerapkan regulasi KTR mulai dari Perwal atau Perbup hingga Perda.

Pihaknya mengapresiasi langkah yang diambil Universitas Muhammadiyah Magelang, yang telah berani mengambil langkah dengan membentuk KTR di lingkungan kampus.

"Saya harap, langkah ini bisa diikuti lembaga-lembaga lain di seluruh Indonesia," tuturnya. (Ika Fitriana)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Beli Rokok Rp 350.000 per Bulan Bisa, Bayar BPJS Rp 25.000 per Bulan kok Mengaku Miskin...".

Artikel Terkait