Find Us On Social Media :

Sebuah Kisah Minggu Siang di Kota Kompeni Tempo Doeloe: Menyaksikan Noni dan Sinyo Belanda Kongkow-kongkow

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 17 April 2018 | 18:00 WIB

Intisari-Online.com – Yang kumaksud kota Salatiga. Sebab di kota itu terdapat sebuah tangsi kompeni yang cukup besar. Letaknya disebelah selatan kota. Setiap hari serdadu-serdadu kompeni itu berlatih dengan kuda "tejinya". Dan tentunya juga kesatuan artilleri.

Pernah aku melihat meriam kecil kecil yang ditarik kuda kore. Malah ada juga yang dipreteli kemudian diikat di punggung kuda beban.

Kesatuan infanterinya lebih terkenal. Sebab hampir setiap hari serdadu bersetiwel, jas tutup dan bertopi bambu itu keluar masuk kampung di kanan kiri tangsi.

Pada hari-hari biasa jalan kehidupan di kota yang terkenal dengan nama "vacantie-oord" itu biasa. Artinya orang bekerja untuk beristirahat pada waktu sore di rumahnya masing-masing. Jadi jalan-jalan kota yang memang sudah sepi tetap sama keadaannya.

Baca juga: Foto-foto Prosesi Ibadah Haji Zaman 'Doeloe', Serba Sederhana dan Tak Perlu Berdesak-desakan

Lain lagi jika Minggu siang tiba. Artinya pada musim panas. Sebab di kala itu pada musim hujan Salatiga merupakan "kota yang selalu diguyur air".

Daerah elite yang berada disekitar rumah tuan Asisten residen sekitar jam tiga siang suasananya mulai dimasukkan. Caranya dengan mengirimkan beberapa mobil air ke daerah tersebut, ialah sebuah mobil tangki seperti mobil tangki minyak sekarang.

Akan tetapi bagian belakang sebelah bawah terdapat pipa panjang dengan lobang banyak. Jika krannya dibuka air didalam tangki itu dialirkan keluar seperti gembor besar. Jadi sambil berjalan perlahan-lahan mobil itu bisa menyiram seluruh jalan daerah tersebut.

Sementara itu tuan sekaout yang menjadi momok anak-anak kampung mulai berpatroli. Maklum dalam keadaan demikian ada saja anak yang mempergunakan kesempatan ini untuk mandi di bawah pancuran gembor raksasa itu.

Meskipun seorang diri dan hanya bersenjatakan "pentung" akan tetapi tuan sekaout tampangnya menyeramkan sekali. Biar sanya ia selalu berkumis. Pernah aku mengenal seorang sekaout dengan kumis sepanjang "Dari telinga ke telinga".

Jika semua jalan sudah bersih dan matahari mulai sejuk berbondong-bondong orang mulai menuju ke lapangan luas di sebelah timur rumah tuan Asisten Residen. Lapangan itu terdiri dari dua bagian. Pertama terdiri dari kebun bunga dengan pancuran dan bangku duduknya.

Sedangkan yang lain berupa lapangan rumput. Di lapangan ini "sinyo" dan "noni" beserta babunya bermain-main sedangkan di kebun bunga "mevrouw" dan "meneer' sambil bergandengan menikmati suasana hari Minggu sore.

Kadang-kadang mereka menyorong sebuah kereta bayi. Akan tetapi puncak keramaian baru terjadi jika musik kompeni yang bermain di bawah "koepel" (Kubah) di tengah lapangan rumput itu mulai memperdengarkan lagunya. Sebab anak-anak mulai menari dan jika lagunya dikenal merekapun ikut menyanyi.