Penulis
Intisari-online.com - Sebagai negara yang terus-menerus memproduksi persenjataan serba canggih, AS tidak hanya membutuhkan dana besar, melainkan juga membutuhkan wahana untuk menguji cobanya.
Persenjataan baru yang telah diproduksi oleh industri persenjataan AS, seperti beragam jenis rudal biasanya akan diuji coba di kawasan padang pasir Utah yang tanpa penghuni, yakni Utah Test & Training Range (UTTR).
Di kawasan yang sangat rahasia ini semua persenjataan di uji coba sampai mendapatkan sertifikasi dan siap digunakan dalam peperangan (Initial Combat Ready/ICR).
Tapi militer AS sebenarnya memiliki ukuran tersendiri untuk menentukan keampuhan persenjataan yang diproduksinya, yakni harus digunakan dalam peperangan yang sesungguhnya.
Pasalnya persenjataan yang terbukti mumpuni dalam perang (combat proven) akan memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan industri persenjataan AS pun bisa mendapatkan untung yang berlipat-lipat.
Oleh karena itu, militer AS yang selalu berperan sebagai polisi dunia dan gemar bertempur di berbagai negara, minimal memiliki satu tujuan utama.
Yaitu menguji coba persenjataan baru yang telah diproduksi oleh AS hingga berkali-kali.
Ketika militer AS, Inggris, dan Perancis memutuskan menggempur Suriah pada Sabtu dini hari (14/3/2018), serangan gabungan itu selain bertujuan mempraktekkan latihan-latihan NATO dan koalisi AS, juga untuk menguji coba rudal-rudal baru dalam peperangan yang sesungguhnya.
Salah satu rudal terbaru yang diuji coba AS dalam serangan ke Suriah adalah rudal jarak jauh (1000 km) sasaran darat jenis Joint Air To Surface Munition (JASSM).
Menurut media yang biasa mengupas teknologi militer AS, Aviation Week, JASSM yang memiliki teknologi siluman (stealth) itu mulai dioperasikan di medan perang (ICR) tahun 2014.
Tapi penggunaannya untuk menghantam sasaran dalam pertempuran yang sesungguhnya baru dilaksanakan di Suriah (14/4/2018).
Rudal JASSM yang satu unitnya berharga sekitar Rp 19 milliar itu oleh AS memang ditujukan untuk melawan persenjataan penangkis rudal Rusia, S-400.
Baca juga:Konflik di Suriah Telah Memaksa Para Wanita Suriah untuk Saling Membunuh
Sejumlah peluncur rudal S-400 yang sudah digelar Rusia di Suriah menjadi persenjataan pertahanan udara yang paling ditakuti AS hingga saat ini.
Tapi menurut Rusia sendiri, rudal-rudal S-400 yang digelar di Suriah ternyata belum digunakan untuk melancarkan serangan balasan saat militer AS dan koalisinya menyerang Suriah.
Ketika menggempur Barzah, pesawat pengebom AS, B-1B Lancer yang diperkirakan terbang dari pangkalan udara AS di Qatar, telah menembakan sebanyak 9 unit rudal JASSM dengan nilai lebih dari Rp 170 milliar.
Sebagai Presiden AS dan juga seorang pebisnis, Donald Trump memang memiliki prinsip sendiri dan selalu gatal terhadap penggunaan persenjataan canggih AS.
Yakni, persenjataan canggih yang sudah diproduksi dengan biaya mahal harus digunakan dan terbukti berkualitas dalam perang (combat proven) sehingga ketika dijual harganya akan berlipat-lipat.
Maka ketika Presiden Trump menyatakan bahwa misi serangan rudal AS dan koalisinya ke Suriah ‘berhasil sempurna’ (mission accommplished) rupanya lebih ditujukan kepada rudal-rudal JASSM yang bekerja dengan panduan satelit (GPS) dan bisa menghantam sasaran sebesar 3 meter persegi itu.
Maka bagi militer AS dan koalisisnya, terutama Presiden Trump apakah hasil serangan rudal akan membuat Presiden Bashar al Assad tumbang dari kekuasannya menjadi tidak penting.
Pasalnya yang lebih penting adalah militer AS dan koalisinya bisa mempraktekan latihan-latihan militer selama ini bersama NATO serta menggunakan senjata-senjata baru dalam peperangan yang sesungguhnya.
Bahkan militer AS dan koalisinya masih mengancam akan menyerang Suriah lagi jika terjadi serangan senjata kimia karena persenjataan baru yang tersedia masih melimpah.
Militer AS dan koalisinya juga tampak tidak takut lagi terhadap Rusia yang saat ini telah meningkatkan pengiriman senjata dan pasukannya ke Suriah.
Pasalnya Rusia ternyata ‘’ragu-ragu’’ untuk melancarkan serangan balasan ketika Suriah digempur rudal pada Sabtu dini hari (14/4/2018), sehingga AS pun makin gatal untuk menggunakan persenjataan terbarunya.