Penulis
Intisari-online.com -Pandemi virus Corona telah memberi ketakutan model baru bagi para masyarakat.
Lebih-lebih, dengan pemberitaan setiap harinya yang memberitakan jumlah kasus yang selalu bertambah.
Meski begitu jumlah pasien Corona yang sembuh juga tidak sedikit.
Dapat dikatakan, pasien yang sembuh sebanyak 50 persen dari jumlah pasien yang sakit.
Baca Juga: Berjiwa Sosial Tinggi, Cristiano Ronaldo Ubah Hotelnya Jadi Rumah Sakit untuk Virus Corona
Namun tidak dipungkiri, angka kematian dari wabah Covid-19 cukup menakutkan.
Saat ini dijelaskan jika isolasi diri di rumah dan strategi jaga jarak adalah cara terbaik untuk mencegah penularan virus ini.
Hal ini telah dijelaskan oleh Harry Stevens, jurnalis The Washington Post.
Artikelnya telah dibagikan oleh banyak pihak dan bahkan dibuat video oleh aktor sekaligus sutradara Edward Suhadi di instagramnya @edwardsuhadi.
Di Amerika, setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan, perkembangan infeksi tambahan berjalan lambat.
Dua bulan kemudian, infeksi yang lambat ini menjadi laju yang stabil.
Grafik perkembangan jumlah kasus penyebaran virus Corona membentuk kurva eksponensial, dan membuat para ahli khawatir.
Sebab, jika jumlah kasus virus Corona tetap meningkat dua kalinya setiap 3 hari sekali, maka Amerika harus hadapi ratusan juta kasus positif virus Corona pada bulan Mei.
Grafik ini adalah sebuah perhitungan matematis, bukan ramalan atau prediksi.
Dan grafik eksponensial tersebut sudah lebihi kapasitas sistem kesehatan semua negara.
Lantas, apakah penyebaran dapat diperlambat?
Bisa, seperti disebutkan oleh pakar kesehatan masyarakat, jika masyarakat terapkan strategi 'jaga jarak'.
Cara ini dilakukan dengan hindari ruang publik dan secara umum batasi pergerakan kita.
Tetap saja, tanpa ada perlambatan, Covid-19 akan tetap menyebar secara eksponensial dalam hitungan bulan.
Penjelasan mengapa penyebaran secara eksponensial terjadi hanya dalam hitunga bulan dijelaskan dalam video tersebut.
Video tersebut simulasikan penyebaran penyakit palsu dalam sebuah populasi, yang lebih mudah menyebar dibandingkan Covid-19 dengan hanya kontak saja bisa langsung menyebar.
Dalam populasi berjumlah 5 orang, tentunya semua akan dengan cepat tertular penyakit ini.
Di kehidupan nyata, tentunya orang-orang pada akhirnya akan sembuh.
Orang yang sembuh tidak dapat lagi tularkan penyakit tersebut ke orang sehat atau bisa sakit lagi setelah berkontak dengan orang sakit.
Saat penyakit palsu itu menyebar di kota berpopulasi 200 orang dan semua orang bergerak bebas sedangkan hanya ada 1 orang yang sakit, rupanya penyebaran penyakit terjadi sangat cepat.
Kurva eksponensial pun terbentuk, tetapi kemudian menurun saat semua orang bisa sembuh.
Simulasi tersebut dianggap jika terjadi di kota kecil yang penyakitnya bisa menyebar dengan cepat.
Di sebuah negara dengan jumlah warga capai ratusan juta, kurva tersebut dapat bertambah tinggi dalam waktu yang lama sebelum akhirnya kurva mengalami penurunan.
Kembali ke Covid-19, banyak pihak setuju jika lakukan perlambatan penyebaran virus sebelum virus tersebut menginfeksi populasi Amerika dalam jumlah yang besar.
Baca Juga: UPDATE Corona di Indonesia, 117 Kasus, Kemunculan 21 Kasus Baru, Simak Rinciannya Berikut Ini
Perlambatan penyebaran dapat dilakukan seperti di provinsi Hubei, yaitu dengan 'lockdown' yang berupa karantina paksaan.
Namun seperti yang telah diprediksi pakar kesehatan, terbukti tidak mungkin memisahkan populasi yang sakit dengan populasi yang sehat.
Lockdown menjadi kendala ketika banyak orang bekerja dan tinggal tidak di kota yang sama, dan tidak mungkin mereka yang sakit dipisahkan dari keluarga mereka, belum lagi terkait berapa banyak jalan yang diblokir.
Kesulitan Lockdown juga terkait bagaimana suplai makanan mencapai para warga.
Lawrence O. Gostin, profesor hukum kesehatan global di Universitas Georgetown menyebut: "nyatanya, lockdown sangat jarang dilakukan dan tidak pernah efektif."
Jika begitu, adakah cara lebih baik untuk melambatkan merebaknya wabah ini?
Jawabannya adalah ada, yaitu dengan strategi jaga jarak atau social distancing yang telah disebutkan oleh para petugas kesehatan, dengan hindari pertemuan publik, sering-sering di rumah dan menjaga jarak dari yang lain.
Jika orang-orang dapat bergerak lebih sedikit dan mengurangi interaksinya, virus mendapat kesempatan lebih kecil untuk menyebarkan diri.
Orang-orang yang masih keluar mungkin karena kerja atau kewajiban lain, atau karena menganggap enteng penyakit baru ini tidak akan sakit, tapi justru menjadi penyebar virus Corona.
Menjaga jarak menjaga lebih banyak orang untuk tetap sehat.
"Kami mengatur keinginan untuk berada di ruang publik dengan menutup semua ruang publik. Italia menutup semua restoran, China menutup semuanya, dan kini kami juga menutup semua ruang publik," ujar Drew Harris, peneliti kesehatan populasi dan asisten profesor di Thomas Jefferson University College of Public Health.
"Mengurangi kesempatan berkumpul membantu warga menjaga jarak satu sama lain."
Menjaga jarak ini jika dilakukan sangat ekstrim bisa membuat kurva penyebaran virus Corona sangat landai bahkan hampir tidak menjadi kurva eksponensial.
A post shared by Edward Suhadi (@edwardsuhadi) on