Penulis
Intisari-online.com -Apakah Anda termasuk penggemar boba?
Seperti yang diketahui, saat ini popularitas boba sangat meningkat, bahkan bisa dibilang menjadi terobosan di dunia kuliner.
Boba sendiri berasal dari Taiwan dan dikenal dengan nama zenzhu naicha.
Dalam laman Eater, boba dikatakan sebagai kategori luas dari chunky drinks seperti es teh, jus, dan minuman apa pun yang memakai mutiara tapioka.
Baca Juga: Berkaca dari Susur Sungai SMPN 1 Turi, Begini Pertolongan Pertama pada Korban Tenggelam
Minuman ini memiliki beragam rasa dan varian.
Bahkan ada juga beberapa gerai yang mencampurkan boba dengan makanan cepat saji seperti Ichiro Ramen Boba yang mencampurkan boba dengan ramen.
Di Indonesia, minuman seperti milk tea yang dicampur boba menjadi hal yang begitu digemari anak-anak muda.
Namun tahukah Anda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah meminta izin kepada DPR RI untuk mengenakan cukai kepada minuman berpemanis salah satunya boba.
Menurut dia, konsumsi minuman berpemanis perlu dikendalikan karena dapat menimbulkan penyakit diabetes.
Namun, Sri mengatakan pengenaan cukai ini masih dalam tahapan rencana awal.
Sebab, Kementerian Keuangan belum menghitung dampak inflasi dari barang yang langsung dikonsumsi masyarakat itu.
Boba memang sering dikaitkan dengan penyakit diabetes mellitus atau kencing manis.
Lebih-lebih, perlu kita ingat kembali Penderita diabetes terus meningkat di Indonesia.
Berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) angkanya terus naik yaitu 5,7 persen (2007), 6,9 persen (2013), dan melonjak menjadi 10,9 persen pada 2018.
Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof DR dr Ketut Suastika SpPD KEMD mengungkapkan, kenaikan ini juga dipicu oleh tenaga medis yang berfokus memberi perhatian kepada hal-hal yang bersifat medis, misalnya pengobatan.
"Sayangnya, usaha ini (pengobatan) belum mencapai hasil yang maksimal. Masyarakat juga belum banyak yang sadar berobat atau mendiagnosis awal.
"Di sisi lain, pembiayaan kesehatan kita masih sangat rendah," kata Suastika dalam acara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) InaHEA (Indonesian Health Economic Association) ke-6 di Bali (6/11/2019) silam.
Oleh sebab itu, penderita diabetes terus meningkat bahkan terjadi komplikasi yang dapat menyebabkan morbiditas, mortalitas, dan gangguan sosial, serta juga membutuhkan biaya lebih besar lagi untuk mengatasinya.
Menurut Suastika, masyarakat Indonesia yang memiliki gula darah tinggi tapi belum diabetes (pra diabetes), terbilang banyak, yakni mencapai 30 persen.
"Kalau dibiarkan, dalam 5 sampai 6 tahun, sekitar 50 persen (orang yang pra diabetes) mungkin akan menjadi diabetes.
Baca Juga: Gusi Anda Berdarah? Jangan Dianggap Sepele, Bisa Jadi Itu Tanda Penyakit Mematikan Ini
Pra diabetes dan diabetes yang belum terdiagnosis adalah ancaman besar," tuturnya.
Namun juga diakui dia bahwa pola pasien diabetes di Indonesia memang cukup unik, dan cukup menyulitkan untuk usaha penanggulangan diabetes.
Pola yang dimaksudkan tersebut antara lain, tingginya pra diabetes dan DM2 yang tidak terdiagnosis, gangguan fungsi sel beta pankreas yang cepat muncul, banyak diabetes yang tidak diobati dengan baik atau tidak patuh berobat, dan angka komplikasi tinggi.
Di sisi lain, anggaran pembiayaan pengobatan juga masih rendah.
"Beban pembiayaan terkait diabetes dan komplikasinya sangat besar," ujarnya.
Kata Suastika, untuk menurunkan angka komplikasi, hasil tes HbA1c harus bisa mencapai target kurang dari 7 persen.
HbA1c merupakan pemeriksaan medis untuk membantu memantau kadar gula darah Anda.
HbaA1c adalah hemoglobin yang berikatan dengan gula darah.
HbA1c dapat memberikan gambaran nilai rerata gula darah dalam tiga bulan terakhir, dan sebaiknya diperiksa tiap 3-6 bulan.
Tanpa HbA1c yang terkontrol, komplikasi akan muncul, dan inilah yang menelan tiga per empat pembiayaan diabetes.
Dijelaskan oleh Asisten Deputi Bidang Pembiayaan Manfaat Kesehatan Primer BPJS, Dr.Nurifansyah, penyakit hipertensi dan diabetes termasuk penyakit yang butuh biaya pengobatan mahal bila sudah terjadi komplikasi.
“Penyakit katastropik seperti hipertensi dan diabetes menyerap 30 persen pembiayaan BPJS Kesehatan,” katanya dalam acara diskusi Optimalisasi Peran Apoteker untuk Menjamin Pengobatan Rasional dan Cost-Effective, di Jakarta (24/9).
Ia menjelaskan, dari 230 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional, 11 jutanya menderita hipertensi dan 9 juta diabetes mellitus.
“Obat-obatannya memang paling menyerap biaya obat di di BPJS Kesehatan karena penderitanya memang banyak, pengobatannya berlangsung seumur hidup,” ujarnya.
Untuk menyediakan akses obat bagi peserta, sekitar 60 persen obat yang ditanggung BPJS Kesehatan adalah obat generik dan sisanya obat paten.
Nurifansyah mengatakan, sekitar 30-40 persen peserta BPJS Kesehatan yang membutuhkan pelayanan kesehatan, pulang membawa obat.
Baca Juga: Masukkan Indonesia sebagai Negara Maju, Rupanya AS Punya Maksud Terselubung
Selain melakukan kontrol ke dokter, ia juga mengingatkan pentingnya melakukan pencegahan penyakit dengan menjalankan gaya hidup sehat.
(Ellyvon Pranita)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kurang Kesadaran, Penderita Diabetes di Indonesia Terus Meningkat"dan "Pengobatan Darah Tinggi dan Diabetes Paling Banyak Serap Biaya"