Find Us On Social Media :

Gempuran AS ke Suriah merupakan Serangan Spektakuler, Sangat Sulit Dihadapi Seandainya Terjadi di Indonesia

By Agustinus Winardi, Minggu, 15 April 2018 | 14:15 WIB

Intisari-Online.com - Ketika pasukan AS dan koalisinya memutuskan menggempur sasaran-sasaran terpilih di Suriah pada Sabtu (13/4) dini hari, sebenarnya itu bukan merupakan misi tempur yang mudah.

Serangan udara menggunakan rudal jarak jauh itu harus tepat menghantam sasaran, tidak mengenai kawasan penduduki sipil, dan sebisa mungkin mencegah serangan balasan dari Rusia yang sudah menempatkan pangkalan rudal-rudal canggihnya di Suriah.

Sedikitnya Rusia memiliki dua pangkalan militer di Suriah: Pangkalan AL di Tartus dan pangkalan udara di Latakia, Khmeimim.

Kedua pangkalan militer Rusia itu sudah dibentengi secara ketat (ring of stell) menggunakan rudal-rudal canggih S-400 yang bisa merontokkan rudal lawan pada jarak 250 km dan ketinggian 30km.

Rudal S-400 juga bisa merontokkan jet tempur dan kapal-kapal perang yang berada di lautan serta berada dalam jangkuan jarak tembak.

Baca juga: Iran-Hizbullah Mengutuk, Turki dan Arab Saudi Mendukung Serangan AS ke Suriah

Untuk menghindari sergapan rudal-rudal Rusia, militer AS dan sekutunya sengaja tidak menyerang kawasan Tartus dan Khmeimim serta menerbangkan jet-jet tempurnya pada jarak di atas 250 km dari Suriah.

Kapal-kapal perang AS yang bertugas menembakkan rudal dari laut juga berada jauh di luar jangkauan rudal-rudal S-400 dan tampak berlayar seperti biasa.

Kapal-kapal perang AS yang turut menyerang Suriah menggunakan rudal seperti Tomahawk adalah kapal selam USS John Warmer yang sedang berlayar di Laut Mediterrania.

Kapal penjelajah USS Monterrey yang berada di Laut Merah, USS Higgins di Teluk Arab, dan kapal perang Prancis, Languedoc, yang sedang berlayar di Laut Mediterrania.

Sedangkan pesawat-pesawat tempur AS ada yang berangkat dari pangkalan udaranya di Italia dan Qatar, jet-jet tempur Tornado Inggris berangkat dari pangkalan udara Akrotiri Cyprus, dan jet-jet tempur Rafale Perancis berangkat langsung dari pangkalan udara Saint Dizier, Prancis.

Baca juga: Donald Trump Puji Serangan AS dan Sekutu ke Suriah, tapi Belum Ada Rencana Serangan Lanjutan

Sebelum serangan secara terkoordinasi dan serentak itu dimulai militer AS terlebih dahulu melepaskan drone (UAV) RQ-4 Global Hawk yang terbang dari Lebanon menuju wilayah udara Suriah guna melaksanakan misi pengintaian.

Berdasar info intelijen dari sejumlah UAV Global Hawk, serangan rudal ke Suriah pun diputuskan pada Sabtu dini hari untuk menghindari jatuhnya korban dari penduduk sipil dan sekaligus mengantisipasi sistem pertahanan udara yang sudah diaktifkan.

Serangan dini hari itu demikian spektakuler karena jet-jet tempur AS, Inggris, dan Prancis harus terbang pada jarak ribuan kilometer lalu mengisi bahan bakar di udara melalui pesawat-pesawat tanker yang sudah menunggu di atas Laut Mediterania.

Semua pesawat tempur koalisi, termasuk pesawat pengebom B-1B Lancer USAF yang terbang dari Qatar kemudian saling berkoordinasi termasuk melakukan koordinasi dengan kapal-kapal perang yang berada di lautan.

Koordinasi itu adalah untuk menentukan posisi pesawat, posisi kapal-kapal perang, menentukan dan mengunci  target yang akan dirudal agar tidak tumpang tindih, serta memastikan bahwa semua pesawat tempur dan kapal-kapal perang koalisi berada pada jarak aman dari jangkauan rudal S-400 Rusia.

Baca juga: Ada Kemungkinan Serangan Rudal AS dan Sekutunya ke Suriah Hanya untuk Menguji Sistem Pertahanan Udara Rusia

Setelah koordinasi dinyatakan oke maka rudal-rudal jelajah yang bekerja dipandu oleh satelit kemudian ditembakkan secara serentak menuju sasaran.

Jika kemudian  Suriah mengklaim berhasil merontokkan sebanyak 71 rudal dari 103 rudal yang ditembakkan oleh pasukan koalisi, itu adalah hak Suriah untuk melancarkan perang psikologis (psywar) dengan tujuan melemahkan militer AS dan koalisinya.

Sebaliknya jika Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa serangan rudal ke Suriah berhasil gemilang, juga merupakan hak Trump untuk mengklaimnya secara politik dan militer karena  berada di pihak yang berjaya.

Tapi yang jelas serangan rudal dari jarak jauh menggunakan pesawat-pesawat tempur dan kapal perang memang spekatuler dan  sangat sulit dibalas mengingat musuh sama sekali tidak kelihatan.

Jika metode serangan pasukan AS dan koalisinya sampai diterapkan di Indonesia, pasukan TNI dipastikan akan sulit melancarkan serangan balasan mengingat minimnya rudal jarak jauh yang dimiliki oleh Indonesia.

Baca juga: S-200, Alat Pertahanan Jadul Suriah yang Sukses Merontokkan Rudal Mahal Tomahawk

Pasalnya musuh sudah bisa menghancurkan sasaran pada jarak ribuan kilometer tanpa kelihatan.

Misalnya saja Singapura yang memiliki banyak persenjataan rudal jarak jauh sudah bisa menembak jatuh pesawat TNI AU ketika baru akan terbang dari pangkalannya.

Jadi serangan rudal pasukan AS dan koalisinya ke Suriah terlepas dari semua kontroversi yang sedang terjadi,  telah menjadi pelajaran berharga bagi kekuatan militer negara mana pun, untuk siap kapan saja menghadapi peperangan era rudal.

Bahkan termasuk menghadapi peperangan era rudal nuklir.