Penulis
Intisari-online.com -31 Januari 2020 yang lalu, Inggris telah berhenti menjadi anggota Uni Eropa.
Aksi tersebut dikenal dengan Brexit, atau singkatan berbahasa Inggris dari 'British Exit'.
Brexit lahir dari pemungutan suara (referendum) yang diadakan Juni 2016, ketika 17.4 juta rakyat Inggris mendukung mereka perlu keluar dari Uni Eropa, dan perbandingan pro dan kontra sebesar 52% dengan 48%.
Uni Eropa adalah gabungan negara-negara di Eropa yang dibuat dengan tujuan menguatkan gerakan ekonomi dan politik, dengan anggota 28 negara Eropa.
Uni Eropa memudahkan perdagangan bebas, artinya barang dari Perancis bisa dengan mudah masuk ke Italia tanpa adanya pengecekan maupun pajak tambahan.
Selain mudahkan perdagangan bebas, Uni Eropa juga memudahkan masuk keluarnya warga dari satu negara ke negara lain selama mereka masih termasuk anggota Uni Eropa.
Pemindahan warga ini tidak hanya untuk turisme, tetapi juga untuk tinggal dan bekerja di negara manapun yang dipilih warga tersebut tanpa perlunya visa.
Inggris bergabung pada tahun 1973, saat itu Uni Eropa dikenal dengan Komunitas Ekonomi Eropa.
Dengan Brexit, maka Inggris menjadi negara pertama yang keluar dari Uni Eropa.
Masih banyak yang perlu dibahas mengenai keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Masa transisi diberikan sebagai hasil kesepakatan Inggris dan Uni Eropa dari 31 Januari 2020 sampai 31 Desember 2020.
Selama masa transisi, Inggris akan lanjutkan tetap perbolehkan aturan Uni Eropa masih berlaku di Inggris, dan kebijakan perdagangan bebasnya tetap berlaku juga.
Brexit membuat beberapa hal akan sulit untuk dilakukan, salah satunya adalah pabrik dan perusahaan di Inggris akan kesulitan mencari buruh 'murah'.
Jika dahulu buruh dari negara lain yang datang dari negara Uni Eropa lebih mudah masuk ke Inggris dibandingkan buruh dari luar Uni Eropa, kini posisi buruh keduanya sama.
Kondisi itu akan menyulitkan pekerja malas untuk bekerja di Inggris, dan pabrik serta perusahaan di Inggris harus puas dengan pekerja asli Inggris.
Namun Priti Patel, Direktur Keamanan Negara mengatakan sistem itu akan memberi masa depan untuk Inggris, sebab pemerintah sedang bertujuan untuk kurangi migrasi ke Inggris.
Pekerja dari luar yang ingin bekerja ke Inggris harus mahir berbahasa Inggris dan memiliki tawaran pekerjaan dengan sponsor yang telah disetujui.
Pemerintah Inggris juga tidak akan memberi jalur alternatif untuk para pekerja dengan kemampuan rendah, sembari mendesak bisnis untuk beradaptasi dengan sistem baru.
Tujuan pemerintah adalah untuk akhiri pergerakan bebas pekerja antara negara Uni Eropa dan Inggris, demi kurangi ketergantungan Inggris dengan pekerja dari luar.
Ke depannya, harapan Inggris adalah capai pembangunan yang kurangi pegawai, maksimalkan produktivitas dan berikan investasi lebih luas di teknologi dan automatisasi.
Pekerja imigran dengan tingkat pendidikan tinggi (lulusan Universitas) akan mendapat peluang lebih besar untuk diterima menjadi pekerja imigran di Inggris.
Sistem baru ini representasikan aksi keseimbangan, tujuannya melebarkan dasar kemampuan buruh sembari membatasi masuknya buruh tidak terampil.
Bagi imigran dari luar Uni Eropa, kebijakan ini memudahkan mereka, seperti pekerja terampil bisa mendapatkan gaji minimum setara dengan gaji pekerja Inggris asli.
Namun bagi pekerja dari Uni Eropa, hal ini menyulitkan mereka.
Selain kebijakan mengenai masuknya pekerja ke Inggris, masih banyak yang perlu dibahas, contohnya: