Intisari-Online.com - Sejak Perang Dingin (Cold War) antara negara-negara Blok Barat dan Blok Timur berakhir, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet, baik Rusia maupun AS terus berusaha mencegah kambuhnya Perang Dingin.
Tapi sejak Presiden Donald Trump berkuasa di AS, kambuhnya Perang Dingin menjadi sulit dicegah mengingat Trump, yang sejatinya seorang pebisnis, ternyata terkesan ‘menginginkan perang’.
Ini bisa dilihat ketika Presiden Trump menyiapkan kekuatan militer dalam skala besar untuk menyerang Korut.
Padahal hanya karena Kim Jong-un, yang oleh para senator AS dijuluki ‘bocah gemuk yang nakal’, mengancam akan merudal nuklir AS, sebenarnya, Trump telah memencet tombol dimulainya lagi Perang Dingin.
Presiden Rusia Vladimir Putin sebenarnya menyadari jika bangkitnya Perang Dingin akan membuat Rusia tampak lemah.
Pasalnya sejak Perang Dingin berakhir, Rusia telah kehilangan sekutu-sekutunya di Eropa Timur.
Oleh karena itu ketika AS bermaksud menyerang Korut, Putin memilih diam. Apalagi Korut ternyata ‘berani’ melawan AS tanpa bantuan China dan Rusia.
Rusia hanya mengancam akan turun tangan jika eskalasi konflik Korut-AS sampai memasuki perbatasan Rusia-Korut.
Kenekatan Kim Jong Un yang berani berperang melawan AS tanpa bantuan Rusia dan China sesungguhnya ditertawakan oleh Putin.
Bahkan Korut yang berencana meluncurkan rudal balistik untuk menyerang AS melewati wilayah udara Rusia, telah membuat Putin ‘merasa malas’ bersekutu dengan negara tetangganya itu.
Baca juga: Ancaman AS untuk Hancurkan Korut Bukan Gertak Sambal, karena Pernah Dilakukan saat Perang Korea
Dengan kondisi seperti itu maka Putin lebih suka bersekutu dengan Suriah dan Iran.