Zaman Dulu, Pemegang SIM Harus 'Bergaya' Seperti Narapidana Saat Difoto

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Onlien.com – Pada usia 13 tahun, kakek datang ke sebuah perusahaan dagang dan bengkel mobil Semarangsche Automobielen Maatschappij.

Beliau menemui managernya sendiri, yang waktu itu menurut lidah kakek bernama tuan Yongkop. Tanpa lamaran kerja, tanpa surat apapun.

“Mau jadi kenek?", tanya manager perusahaan. “Boleh. Sekarang ditest dulu. Angkat martil besar itu!"

Dan kakek, dengan sigap mengangkatnya. Kontan diterima. Tuan manager ini menyukai body kakek yang gede dan cepat memberi kepercayaan.

BACA JUGA: Bukan Angka Setan, Inilah Makna Sebenarnya dari Simbol 666

Berbagai keahlian bengkel diajarkan, dan secepat itu pulalah kakek menjadi montir mobil.

Mobil-mobil zaman dulu sangat berbeda. Peralatannya tidak rumit. Bahkan gasnya pun masih pakai tangan. Versnellingnya tidak memakai gigi, melainkan langsung kena roda.

Kalau naik tanjakan tidak kuat maka boleh “ahtret” (achteruit) mundur terus ambil ancang-ancang untuk naik lagi.

Kap mobil masih pakai deklit semua waktu itu, termasuk Daimier yang disebut mobil termewah.

Demikianlah, kakek dalam waktu singkat menjadi ahli montir dan jadi 'anak-mas' tuan Yongkop.

Pada tahun 1913, datang mobil-mobil dalam bentuk CKD di pelabuhan Singapura, pesanan untuk ambtenar-ambtenar di Singapura.

Untuk pemasangan mobil-mobil itu, kakek diajak ke Singapura bersama tuan Yongkop. Kakek, yang waktu itu lebih suka tinggal di rumah kakeknya di Sumonegaran-Semarang, jadi gelisah.

Bagaimanapun juga, pergi keluar negeri saat itu masih langka dilakukan pribumi kita.

Ketika ditanya tuan Yongkop apakah sudah minta izin kepada orang tua, kakek menjawab sudah.

BACA JUGA: Inilah Foto Mengagumkan Tempat Mewah yang Tak Terjamah dari Seluruh Dunia

Dan begitulah, setelah mengurus paspor di gedung Papak (sekarang Kantor Bendahara Negara), kakekpun pergi tanpa pamit. Habis, kata kakek, kalau minta izin tentu tidak boleh oleh orang tua.

Maka dengan “kapal Roempiyus" kakekpun berlayar ke Singapura. Disana menginap di “Erup-Hotel". Mungkin yang dimaksudkan adalah Hotel Europa.

Mobil-mobil yang masih berupa onderdil itu kemudian dibongkar dari peti-petinya, dan mulailah pemasangan satu demi satu.

Kepergian kakek tentu saja membuat ribut seluruh keluarga yang akhirnya tahu, bahwa kakek dengan manager pergi ke Singapura.

Meskipun hampir selama setahun di sini, kakek tidak bisa berbicara bahasa Inggris maupun Tionghoa. Itu menyulitkan komunikasi.

Dan lebih-lebih lagi, tuan Yongkop ini serba was-was saja terhadap kakek, takut kalau-kalau hilang. Maka kemanapun tuan manager pergi, kakek mesti harus ikut.

Tetapi dasar anak muda, mencuri kesempatanpun masih lihay juga. Sehingga sewaktu sampai di Semarang lagi, tak sepeserpun kakek membawa duit.

Katanya kepadaku, “Hati-hati kalau di Singapura. Disana kesenangan seperti digelarkan!” Maka tahulah saya, bahwa prostitusi memang sudah merupakan profesi di mana-mana.

BACA JUGA: Keren! Indonesia Masuk Daftar 10 Paspor Paling Indah di Dunia

Entah kenapa, perusahaan ini kemudian ditinggalkannya. Dari sini tahu-tahu kakek bekerja di Lindeteves. Juga dengan vak yang sama. Tetapi masih merangkap juga sebagai sopir.

Rebewijs dengan foto “narapidana"

Ketika saya tanya tentang rebewijs, kakek bilang bahwa zaman dulu ketika bekerja di Semarangsche Automobielen Maatschappij, juga sudah nyopir. Cuma rebewijsnya hanya berupa kertas zegel saja.

Barulah pada tahun 1916, jadi usia 17 tahun, kakek benar-benar punya rebewijs cap Kepolisian Belanda.

Tentang rebewijs ini, benar-benar menimbulkan selera saya untuk ketawa. Bentuknya sangat berbeda dengan yang sekarang.

Terdiri dari tiga halaman penuh pasal Undang-Undang Lalu-Lintas. Dikeluarkan oleh Assistent Resident yang diatasnamakan kepada beliau, yth Commissaris van politie. Sedangkan wajib portret dan cap jempol juga ada.

Nah, portret “van den houder" (pemegang) inilah yang menggelikan. Sebab di dada yang dijepret ditaruh batu tulis, dan di situ ditulis tanggal, nama dan jabatan, dengan kapur.

Ini mengingatkan saya kepada foto tahanan. Maka direbewijs kakek itupun terpampanglah foto dengan dada bertuliskan : 18-8-1916 ; Saparie ; Chauffeur.

Tidak dijelaskan apakah termasuk A, B, atau C seperti halnya SIM sekarang. Cuma dikasih semacam verklaring: Automobiel saja, beres. Lalu tertanda : de Boer! (Pejabat Hoofd Commissaris van politie dan cap kepolisian Belanda.

BACA JUGA: Sebelum Bikin Paspor, Anda Wajib Tahu Bedanya Paspor 24 Halaman dan Paspor 48 Halaman

Dari Lindeteves, kakek kemudian ditarik oleh manager Java Ford sebagai montir juga. Perusahaan ini kemudian mengalami likwidasi dan kemudian hari berubah menjadi N.V. Fiat Import.

N.V. Fiat Import ini berkedudukan di gedung yang sekarang kalau tidak salah adalah gedung D.P.U. Kodya Semarang, jadi persis di sebelah Timur Balaikota, hanya ada antar satu gang kecil.

Pada foto, dapat dilihat bagaimana macamnya show-room zaman dulu, di mana dipamerkan mobil-mobil kuno yang menarik. Bak belakang berengsel sekaligus tempat ban serep.

Kap masih deklit semua. Ditengah show room ada seperangkat meja kursi bagi pembeli-pembeli yang sebelum melakukan transaksi tentu melihat-lihat dulu.

Hiasan show room pun masih sederhana menurut ukuran 'home-decoration' sekarang. Hanya ada beberapa patting dan lukisan-lukisan kecil pada dinding.

Tentu saja sangat jauh bedanya dengan show-room di Jalan Thamrin Jakarta. Namun yang terang gedung tersebut masih bertahan sampai sekarang, bahkan masih tetap pada wujudnya semula.

Pekerja-pekerja dahulu sekalipun kerjanya merangkak di bawah mobil tetap pakai sarung. Alangkah beda sekali antara bangsa pribumi dengan tuan-tuan yang berpantalon dan berdasi.

BACA JUGA:Setelah Boleh Mengemudi dan Menonton Olahraga di Stadion, Perempuan Arab Saudi Juga akan Punya Area Merokok Sendiri

Kepala kita cukup pakai blangkon. Maka saya pikir memang benar, pepatah Jawa bahwa sebelum bekerja musti 'cancut tali wanda'. Di Fiat Import ini kakek menerima gaji f 0,35 per jam.

Pada waktu masih bernama Java Ford, perusahaan ini pernah mengadakan Auto-test mobil- mobil jenis Ford-T, sebanyak kurang lebih 36 buah mobil dari Batavia-Surabaya. Perjalanan ini ditempuh dalam waktu 20 jam, suatu rekor lumayan waktu itu, katimbang... naik kuda tentunya.

Kalau mobil-mobil yang ditest ini masuk kota, orang-orang Belandalah yang pegang kemudi. Tapi kalau di luar kota, bangsa awak. Akan tetapi, menjadi chauffeur tuan Olanda, zaman dulu sudah mentereng dan boleh pasang gaya dimuka gadis-gadis yang masih pakai “bebed”.

Waktu di Yogya kakek menjadi montir pesawat terbang. Katanya dari jenis "Yachker". Ya, zaman dulu, montir mobilpun bisa menjadi montir pesawat terbang!

Kakek sekarang sudah Ianjut usia, namun begitu masih juga bekerja sebagai montir mobil di sebuah bengkel besar. Kalau mereparasi mobil, cukup mendengarkan suara mesin saja, dari situ tahu mana bagian yang rusak. Tentu saja kalau mobilnya masih bisa distarter.

Kalau sudah rusak benar-benar, kakek masih sanggup merangkak-rangkak di bawah mobil! Hanya saja jabatan chauffeur sudah ditinggalkan. Kurang gesit lagi katanya.

(Ditulis oleh H. Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1974)

BACA JUGA: Bukan Berbentuk Surat Harapan, Kapsul Waktu Ini Berwujud Mobil yang akan Diambil 50 Tahun Lagi

Artikel Terkait