Penulis
Intisari-online.com -Kelelawar adalah hewan nokturnal atau aktif di malam hari.
Siklus hidupnya adalah saat siang tidur di tempat hidupnya lalu malam hari ia aktif mencari makan.
Hal ini dimanfaatkan oleh para pemburu kelelawar untuk menangkap mereka di waktu malam hari.
Namun, salah seorang pemburu kelelawar di wilayah Pangkalan Militer Stasiun Quantico, Virginia, yang mencari kelelawar spesies telinga panjang yang hidup di wilayah utara.
Sam Freeze, yang merupakan mahasiswa doktoral, mencari di hutan wilayah Virginia untuk menemukan kelelawar tersebut, spesies langka yang telah tereradikasi akibat penyakit misterius selama hampir 8 tahun terakhir ini.
Seringnya, ia gagal dan kembali dengan tangan kosong.
Antara Mei sampai Agustus, Freeze hanya dapat menangkap kurang dari 10 kelelawar telinga panjang.
Dilansir dari Washington Post, Pseudogumnoascus destructans, jamur yang menyebabkan penyakit fatal bernama sindrom hidung putih, telah membunuh lebih dari 90% kelelawar spesies ini di sebagian besar wilayah Amerika Utara.
Hal tersebut adalah penyebab utama hewan nokturnal itu sulit ditemukan.
Tentunya, peneliti berusaha keras mencegah punahnya hewan ini dengan berusaha menangkap dan mengamankan mereka yang masih tersisa di alam serta mengobati mereka.
Pencarian kelelawar telinga panjang di wilayah Washington menuntun mereka kepada 2 tempat para kelelawar selamat: Quantico, Virginia dan Taman Rock Creek di Washington DC.
Freeze menyebut, mereka harus memahami apa yang akan mereka lindungi dari kepunahan.
Menemukan keberadaan mereka adalah sulit, karena meskipun keberadaan mereka dapat diketahui dengan ekolokasi, tetapi fungsi tersebut tidak dapat berguna saat mereka masuki zona militer yang bebas dari teknologi sonar termasuk bio sonar yang terpancar dari tubuh hewan.
Tim Freeze kemudian menangkap kelelawar dengan cara memasang "jaring kabut", yang tampak seperti jaring olahraga voli super besar dengan ukuran menjulang sampai 12 kaki, atau 366 cm bahkan lebih.
Mikrofon penerima antena dipasang untuk menangkap suara kelelawar yang muncul tetapi lolos dari penangkapan.
Saat kelelawar terbang ke jebakan tersebut, kelelawar akan masuk ke tas kertas coklat dan kemudian dibawa oleh tim Freeze untuk mulai dipelajari.
Mereka mempelajari massa tubuh kelelawar dan jenis kelaminnya dan mengambil sampel kotoran untuk menentukan apa yang mereka makan.
Selanjutnya, kelelawar diberi pemancar kecil ditempelkan dengan lem yang biasa digunakan saat operasi pada punggung mereka, dan pemancar tersebut akan menunjukkan keberadaan kelelawar yang telah dipelajari tersebut.
Sejak musim dingin tahun 2007 sampai 2008, jutaan kelelawar di 33 negara bagian dan 7 provinsi di Kanada telah mati akibat sindrom hidung putih, menurut Survei Geologi Amerika.
Efek kematian dari populasi kelelawar belum diketahui secara rinci, sejauh ini didapat data jika kelelawar memakan banyak serangga.
Kondisi ini memungkinkan hilangnya musuh alami di alam, menyebabkan serangan hama serangga meningkat dan petani harus melakukan tindakan ekstra untuk mengamankan tanaman mereka dengan lebih banyak pestisida.
Di sisi lain, masih banyak predator serangga lain, sehingga kemungkinan itu cukup kecil.
"Sulit untuk menebak adanya efek jangka panjang pada pengelolaan hama di pertanian," ujar Justin Boyles, profesor di Departemen Zoology Universitas Illinois Selatan, Carbondale.
"Masih ada spesies lain di sekitar pertanian yang kita lihat mengisi posisi yang dipegang kelelawar tersebut."
Meski begitu populasi kelelawar yang hampir punah ini membuat banyak pihak khawatir.
Sindrom hidung putih mulai menyerang lebih dari satu dekade lalu, awalnya berasal dari Eropa dan Asia.
Jamur itu memakan membran di sayap kelelawar, dan kelelawar yang mati ditandai dengan titik putih di gua mereka berhibernasi.
Penyakit mereka diduga membangunkan mereka dari hibernasi musim dingin, menyebabkan mereka tidak menyimpan cukup lemak dan akhirnya mengalami dehidrasi.
Saat mereka meninggalkan gua mereka terlalu awal, mereka meninggal dari paparan musim dingin atau kelaparan.
Sebuah jurnal ilmiah dipublikasikan di jurnal kesehatan PLOS Pathogens menyebut penyakit ini "penyakit mamalia paling mengerikan di kehidupan liar hewan sepanjang sejarah".
Hewan yang terinfeksi akan bertingkah tidak normal saat hibernasi musim dingin, dan keluar dari gua di siang hari, kemudian tidak kembali.
Beberapa teori mengenai mengapa masih ada yang selamat adalah mereka menghindari gua tempat jamur sudah menyebar, dan menghabiskan hibernasi di pepohonan.
Baca Juga: Dorong Sektor Pariwisata, Jelajah Sepeda Lipat Cirebon-Bandung Siap Didukung Pemerintah Kota Cirebon
Di pepohonan, ancaman hidung putih lebih rendah karena tidak hidup berjejalan, atau memang ada beberapa yang resistan terhadap penyakitnya.
Tantangan bagi peneliti adalah menentukan mengapa dan di mana mereka dapat selamat, dan apa yang dapat manusia lakukan untuk membantu mereka.
"Kita harus meletakkan kelelawar di konteks ekologi yang kita selamatkan," ujar Ford, "kita harus mengkonservasi atau membangun lingkungan yang mendukung kehidupan mereka."
Freeze mengatakan pemilik rumah dapat melakukan tindakan untuk melindungi kelelawar, seperti membersihkan atap tempat mereka temukan para kelelawar.
Baca Juga: Bingung dengan Pajak Pembelian Barang dari Luar Negeri? Ini Cara Mudah Menghitungnya!
Jika ditemukan kelelawar tidur di loteng mereka, seharusnya yang dilakukan adalah memanggil spesialis hewan liar, bukan membunuh mereka.