Penulis
Intisari-Online.com -Tragedi dini hari pada 1 Oktober 1965 mengakhiri hidup Pierre Tendeandengan tragis, ia menjadi salah satu korban keganasan G30S/PKI.
Pierre Andries Tendean, merupakan anak dari pasangan A.L Tendean seorang dokter dari Minahasa dan M.E Cornet, wanita Indo berdarah Perancis.
Sejak kecil, Pierre Tendean selalu memiliki tekad menjadi seorang tentara.
Namun, orang tuanya sempat lebih mengarahkan Pierre Tendean untuk menjadi seorang dokter atau insinyur.
Walaupun begitu, Pierre Andreas Tendean tetap teguh pada tekadnya menjadi TNI.
Ia masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada 1958 dan lulus pada 1961.
Setelah lulus, Pierre Andreas Tendean berpangkat letnan dua.
Setahun menjadi bertugas di Meda, Pierre Tendean pun menjalani pendidikan intelijen di Bogor.
Usai mengenyam pendidikan intelijen Pierre Andreas Tendean menjadi seorang mata-mata. Ia sempat ditugaskan melakukan penyusupan saat adanya konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Berkat kerja keras dan kemampuannya, Pierre Andreas Tendean dipandang sebagai TNI yang unggul.
Dilansir Tribunjabar.id dari Kompas.com, hal ini terbukti dari berebutnya tiga jenderal untuk menjadikan Pierre Tendean sebagai ajudan.
Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan.
Dari ketiga jenderal itu, Jenderal AH Nasution-lah yang mendapatkan sosok Pierre Andreas Tendean.
Hal ini disebabkan Jenderal AH Nasution disebut sangat menginginkan Pierre Tendean menjadi ajudannya.
Akhirnya, Pierre Andreas Tendean pun menggantikan ajudan sebelumnya, Kapten Manullang.
Kapten Manullang gugur saat bertugas di Kongo untuk menjaga perdamaian.
Pierre Andreas Tendean dipromosikan sebagai Letnan Satu (Lettu). Lettu Pierre Tendean pun menjadi ajudan Jenderal AH Nasution termuda.
Pada usia 26 tahun, ia sudah mengawal sang jenderal ternama.
Tidak hanya mengawal Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean pun akrab dengan putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Potret berdua mereka bahkan terpajang di Museum AH Nasution.
Namun, segala kecemerlangan dalam bidang militer dan masa depan cerah Lettu Pierre Tendean harus berakhir.
Saat itu (30/9/1965) Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu.
Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.
Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat.
Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan.
Lettu Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu.
Ternyata keributan itu berasal dari segerombol orang.
Disebutkan bawah orang-orang yang datang ke rumah AH Nasution adalah pasukan Cakrabirawa.
Mereka pun menodongkan senjata pada Lettu Pierre Tendean.
Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik. Ia dikepung pasukan itu.
Demi melindungi atasannya, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution.
"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.
Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution langsung diculik.
Sementara itu, nyawa putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma, tak tertolong karena tertembak.
Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.
Meski Pierre Tendean tak lagi bernyawa, kakinya diikat lalu dimasukkan ke dalam sumur, di Lubang Buaya.
Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.
Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.
Padahal, pada November 1965, Lettu Pierre Tendean dijadwalkan akan menikahi Rukmini Chaimin di Medan.
Takdir berkata lain. Ia meninggal mengatasnamakan atasannya di depan para pembunuh itu.
Sebagai bentuk penghormatan, ia pun dinaikkan pangkatnya menjadi kapten.
Kapten Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia, pada 5 Oktober 1965.(Widia Lestari)
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul Pierre Tendean Korbankan Nyawa Demi AH Nasution, Tak Sempat Pulang untuk Rayakan Ulang Tahun Ibunda