Penulis
Intisari-Online.com – Indonesia berduka kehilangan sosok luar biasa yang memajukan teknologi di negara tercinta ini.
BJ Habibie, Presiden RI ke-3, ini meninggalkan kita pada hari Rabu (11/9/2019) setelah beberapa waktu dirawat di RSPAD Gatot Subroto.
Jejak perjalanan hidupnya menjadi orang besar seolah sudah dipersiapkan oleh “dunia” sekitarnya.
Sang ayah membekalinya dengan filosofi “air mata”, sumpah ibu untuk memberi pendidikan setinggi mungkin, dan tentu saja kerja keras dan kesetiaannya pada cita-cita.
Baca Juga: Inilah Muhammad Pasha Nur Fauzan, Cucu BJ Habibie yang Juga Tekuni Bidang Dirgantara
Akhirnya, Indonesia memiliki Bacharuddin Jusuf Habibie seperti yang kita kenal sekarang ini.
Seorang ilmuwan unggul, perintis industri kedirgantaraan, presiden, dan negarawan sejati.
Tulisan berikut ini pernah dimuat di Majalah Intisari dalam rubrik Cukilan Buku, yang diambil dari buku RUDY, Kisah Masa Muda yang Visioner, dan dicukil oleh Djati Surendro.
Untuk ke dua kalinya Rudy merantau seorang diri. Kali ini, April 1955, ia terbang menuju negeri jauh, Jerman.
Ketika suara mesin pesawat Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) dengan kode penerbangan KL-830 makin kencang, jemari Rudy mencengkeram kursinya.
Dia bisa merasakan ujung, badan, dan ekor pesawat melayang terbang.
Meninggalkan Tanah Air. Menemui langit. Menembus awan. Dia kini menjadi bagian keajaiban ilmu fisika yang sangat ia cintai.
Gabungan antara mimpi Leonardo Da Vinci, penemuan teori oleh Newton, dan kenekatan Wright bersaudara.
Rudy kuliah di Rheinisch-Westfalische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, perguruan tinggi tertua di Jerman yang didirikan untuk menunjang kebutuhan Revolusi Industri ketika itu.
Tak mudah untuk bisa diterima kuliah di RWTH Aachen.
Dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh para calon mahasiswanya, salah satunya adalah menempuh kelas persiapan untuk ujian Studienkollegs, yakni penilaian kualitas pemahaman dalam bidang ilmu pasti, ilmu alam, ilmu kimia, dan mekanik.
Di Aachen, Rudy mendapat pelajaran hidup sesungguhnya.
Untuk pertama kalinya bergaul langsung dengan orang-orang tidak mampu karena keterbatasan kemampuan finansial.
Kalau dulu Rudy selalu menjadi bagian kelas menengah atas, di Aachen dia menjadi bagian kelas bawah.
Bila dulu hanya mengenal kata “miskin” atau “kelaparan”, di Aachen dia mengalami langsung arti dua kata tersebut.
Ia tinggal di rumah keluarga Neuefeiend di Frankenberg Str 16, di pinggiran kota Aachen. Tak ada kamar mandi dan pemanas di kamarnya.
Hanya ada wastafel dan toilet kencing. Untuk mandi ia memanfaatkan pemandian bagi kaum miskin.
Selain harus antre, mandinya dibatasi waktu. Ada bel waktu mulai dan selesai.
Untuk makan Rudy harus berjalan ke Mensa Academia, kantin kampus. Harganya murah karena disubsidi universitas.
Tahun-tahun pertama kuliah, badan Rudy jadi kurus dan kecil. Apalagi dia jarang makan daging, sebab takut haram. Dia lebih memilih roti dan buah.
Padahal tak jarang ia harus berjalan kaki cukup jauh untuk menuju ke kampus bila tak punya uang. Pakaiannya pun hanya itu-itu saja.
Sepatu model moccasin merek Sioux, tak lupa tas kulit lusuh dan jaket warna hijau.
Sol sepatu yang dia pakai lama-lama sering copot hingga berbunyi flop..flop.. bila dipakai jalan.
Kaos kaki warna putih di balik sepatunya sekelebat memperlihatkan lubang. Sebentar terlihat sebentar hilang dari pandangan.
Baca Juga: BJ Habibie Temui Sang Kekasih Hati, Ainun Habibie, di Keabadiaan
Saat itu, nyaris seluruh mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri adalah penerima beasiswa.
Itulah sebabnya mereka memegang paspor biru, paspor dinas. Berbeda dengan Rudy yang bukan penerima beasiswa sehingga paspornya berwarna hijau.
Para mahasiswa Indonesia yang lebih senior langsung menyimpulkan kalau Rudy bukan anak yang pintar, tidak qualified, sebab dia tak mendapat beasiswa.
Keadaan berubah ketika Rudy selesai menempuh ujian Studienkollegs.
Awalnya dia kecewa karena namanya tidak ada.
Ia ketakutan, keringat dingin membasahi dahinya, matanya sudah mau nangis saja. Di kepalanya hanya ada Mami dan Mami.
Mami sudah mengeluarkan biaya sebesar itu hanya untuk sebuah kegagalan. Belum pernah Rudy merasa se-tak berguna ini.
Ternyata karena badannya yang kecil Rudy tak bisa melihat papan nama paling atas.
Padahal namanya masuk dalam deretan teratas. Ia mendapatkan nilai hampir 10.
Saat teman-teman Indonesia mendengar kabar itu, mereka juga merasa ikut senang.
Mereka berpikir pasti soalnya gampang karena orang yang bukan penerima beasiswa saja bisa masuk tiga besar.
Namun ketika mereka ikut ujian, ternyata nilainya pas-pasan bahkan banyak yang gagal.
Mulai saat itu asumsi mereka terhadap Rudy sebagai anak yang kurang pintar dan tidak qualified berubah.
Baca Juga: BREAKING NEWS: Presiden Republik Indonesia Ke-3 BJ Habibie Meninggal Dunia