Kemudian, akademisi menggunakan biomarker dari tes darah baru.
Peserta lalu diberi skor, mulai minus 2 sampai 3, semakin tinggi angkanya maka semakin besar kemungkinan seseorang akan cepat mati.
Tes lanjutan selama 2 hingga 16 tahun berikutnya, menemukan bahwa lebih dari 5.000 peserta telah meninggal, tes terbaru ini telah memprediksi risiko kematian mereka dengan akurasi 83 persen.
Tetapi, memperkirakan risiko kematian selama 10 tahun ke depan jauh lebih sulit diharapkan, meski serangkaian hasil positif ini membantu spesialis meningkatkan cara orang dirawat.
Namun, mereka yang berada di lapangan, telah memperingatkan orang-orang dalam kondisi tertentu bahwa masih banyak yang harus dilakukan sebelum menggunakan pengobatan.
Dr Amanda Heslegrave, peneliti dari UK Dementia Research Institute di University College London, memuji penelitian tersebut namun masih banyak hal yang perlu ditempuh.
Dia mengatakan, "Biomarker memberi kita wawasan penting bahwa mereka memiliki jumlah besar untuk hasil, dalam hal ini kematian, membuat data semakin banyak."
"Namun mereka dibatasi oleh fakta bahwa hanya data Eropa yang mungkin berlaku untuk kelompok etnis lain tanpa studi lebih lanjut," katanya.