Penulis
Intisari-Online.com – Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa kawasan Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai habitat komodo.
Di sini, komodo bebas berkeliaran dan kita sebagai pengunjung harus menjaga jarak darinya.
Alasannya hewan yang satu ini sangat liar, namun kita tak bisa membunuhnya. Sebab mereka hewan yang dilindungi.
Nah, selain komodo, tahukah Anda bahwa di tempat tersebut juga ada sebuah suku yang tinggal di sana?
Dilansir dari kompas.com pada Senin (12/8/2019), namanya adalah suku Komodo.
Dan Ishata (65), salah seorang warga tetua di kampung Pasir Panjang di Pulau Rinca bercerita tentang asal komodo (varanus komodoensis).
Pulau Rinca adalah salah satu pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur Ia tampak tidak segan-segan bercerita tentang masa lalu penduduk di Pulau Rinca.
"Kalau yang pertama kali menghuni Pulau Rinca adalah suku Komodo, kemudian disusul suku Bajo," kisahnya.
Menurut legenda, komodo sebenarnya merupakan kembaran dari suku Komodo yang dilahirkan oleh seorang wanita bernama Putri Naga yang kemudian menikah dengan seorang pria setempat.
Putri Naga kemudian melahirkan seorang laki-laki dan sebuah telur yang kemudian menetaskan hewan komodo betina.
Kaitan suku Komodo dengan hewan komodo itu diketahui saat anak dari Putri Naga sedang berburu.
Kala itu ia menemui seekor komodo yang hendak memakan rusa buruannya.
Saat akan membunuhnya, muncul sang Putri Naga Komodo yang memberitahu bahwa komodo tersebut adalah saudara kembarnya.
"Kalau tidak ada peristiwa perburuan maka saudaranya ini tidak tahu bahwa kembarannya ini Komodo."
"Dia mau angkat panahnya, kata mamanya jangan lah engkau bunuh, itulah saudaramu," ujar Ishata.
Baca Juga: Mulai ‘Go Green’ dan Hindari Plastik, Warga Gunakan Besek Bambu untuk Wadah Daging Kurban
Dari cerita warga, komodo biasanya turun ke perkampungan mereka karena mencium bau anyir atau amis.
Komodo biasanya mengejar kambing warga atau kucing yang mendekati habitat mereka. Namun, kata Ishata, di zaman dahulu komodo bisa mengerti bahasa suku Komodo.
Seperti moke mai (jangan datang), moke waki ahu (jangan gigit saya). Jika diucapkan maka komodo itu pergi dengan sendirinya.
Tapi, sayangnya kebiasaan itu kini telah pudar seiring dengan pejalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia.
Penduduk Desa Pasir Panjang berjumlah sekitar 1.330 jiwa atau sekitar 450 kepala keluarga (KK) dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan.
Namun, penduduk asli Pulau Komodo, praktis tidak diketahui persis berapa jumlahnya.
Atas dasar itu, Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat kemudian menilai bahwa para penghuni Pulau Komodo tidak memiliki hak atas kepemilikan lahan yang mereka tempati selama ini.
"Mereka tidak memiliki hak kepemilikan lahan seperti hak warga negara lain.”
“Mereka tidak memiliki sertifikat hak kepemilikan atas lahan di Pulau Komodo," kata Viktor Bungtilu Laiskodat ketika ditanya soal upaya pemerintah NTT terhadap warga setempat saat Pulau Komodo dikonservasi pada 2020.
Hambat populasi
Didik Pradjoko M.Hum, dosen pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dalam penelitiannya mengatakan penduduk Pulau Komodo dikenal dengan sebutan Ata Modo dan pulaunya disebut Tana Modo.
Selama ini masyarakat yang mendiami Pulau Komodo tidak terlayani secara baik khususnya dalam aspek pelayanan kesehatan maupun sektor pendidikan.
Lalu Presiden Joko Widodo menghendaki agar warga di Pulau Komodo direlokasi ke tempat yang layak dan diberikan lahan yang memadai disertai sertifikat hak kepemilikan lahannya.
Menurut Gubernur Laiskodat, apabila masih ada warga yang menempati Pulau Komodo maka pertumbuhan manusia yang tinggal di kawasan itu lebih cepat dari pada populasi komodo sehingga dikhawatirkan habitat komodo akan terus berkurang.
Gubernur Laiskodat mengatakan, banyak pihak di NTT mendukung terhadap kebijakan pemerintah daerah untuk menutup Pulau Komodo selama satu tahun mulai 2020 sebagai upaya melakukan penataan kawasan konservasi Komodo.
"Kami inginkan kawasan wisata di Pulau Komodo menjadi indah, bersih dan ekosistemnya kembali seperti yang aslinya sehingga Komodo terus bertambah dengan populasi yang banyak”
“Atas dasar alasan itu maka mulai 2020, Pulau Komodo harus dikonservasi," kata Laiskodat.
Baca Juga: Masuk Daftar 25 Keluarga Terkaya di Dunia, Kekayaan Keluarga Hartono Capai Rp461 triliun
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan konservasi yang menyasar Pulau Komodo akan dilakukan secara bertahap.
Salah satu yang akan dilakukan adalah memindahkan warga lokal ke pulau lain di dekat Pulau Komodo.
Menurut Marius, saat ini pemerintah provinsi sedang intensif menggelar rapat dengan sejumlah pihak terkait rencana konservasi di Pulau Komodo.
Rapat ini membahas persiapan rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang terkait pulau yang menjadi habitat komodo itu.
Tahapan tersebut, akan dijalankan selama setahun.
Penerapan rencana itu, nantinya bisa menyasar infrastruktur ke Pulau Komodo, menumbuhkan pohon endemik setempat, memindahkan warga lokal dan pedagang kaki lima (PKL) ke pulau di sekitar Pulau Komodo.
Setelah konservasi dilakukan dan pulau tersebut kembali tertata dengan baik, pulau tersebut akan kembali dibuka untuk tujuan wisata.
Namun, dia menggarisbawahi bahwa sistem wisata dan manajemen tata kelola di Pulau Komodo ke depannya akan berubah.
Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Labuan Bajo mengatakan, jika ingin melihat komodo, wisatawan bisa berwisata ke Pulau Rinca yang banyak komodonya.
Presiden juga mengisyaratkan Pulau Komodo akan dibuat lebih eksklusif, namun Pulau Rinca tidak.
Rancangan besar
"Rinca tetap punya hitungan daya dukung, berapa turis yang datang. Enggak mungkin kita buka silakan, silakan, enggak ada seperti itu," ujar Presiden Jokowi.
Kepala Negara menargetkan semua pembenahan di Pulau Komodo akan selesai maksimal dua-tiga tahun.
"Jadi saat bandaranya jadi, runway-nya jadi, hotel-hotel mulai jadi, di sini juga siap," ungkapnya.
Baca Juga: (Foto) Momen Langka Saat Hujan Deras Guyur Arafah Saat Wukuf pada Puncak Ibadah Haji
Rancangan besar itu akan dibahas dalam suatu rapat terbatas. Orang nomor satu di pemerintahan Indonesia itu mengatakan, bahwa semua harus didesain dengan baik dan dikerjakan tidak parsial.
“Kita ini senangnya mengerjakan parsial, anggaran setahun Rp200 juta, Rp500 juta, jadi mau buat apa gitu.”
Jadi betul-betul dirancang, uang sekali keluar tapi dirancang, direncanakan, dan betul-betul dari turun di bandara sampai ke tempat-tempat tujuan ini betul-betul kelihatan sambung semuanya kira-kira itu," kata Presiden Jokowi.
Namun, wacana relokasi terhadap masyarakat yang mendiami Pulau Komodo dinilai tidak beralasan, karena tindakan relokasi dinilai sebagai sesuatu kekeliruan besar yang dilakukan oleh Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengatakan berdasarkan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 07 Tahun 2016 menegaskan bahwa unit pengelolaan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya berada di bawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
“Penutupan Pulau Komodo dilakukan untuk menata ketersediaan pangan bagi Komodo agar performa Komodo tidak lemas.”
“Selain itu, penutupan tersebut juga bertujuan untuk menata taman bunga agar terlihat lebih indah," katanya.
Umbu Wulang menegaskan bahwa pernyataan Gubernur Laiskodat tentang penduduk liar adalah pernyataan yang tidak dapat dibenarkan, sebab masyarakat yang hidup dan menetap di Pulau Komodo tentu tidak memiliki hak atas kepemilikan lahan, karena Pulau Komodo telah ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Tetapi, jika diurutkan ke belakang maka jelas bahwa sebelum penetapan Taman Nasional Komodo (TNK), Pulau Komodo merupakan hak ulayat masyarakat setempat.
Namun, setelah ditetapkan sebagai TNK, masyarakat yang menetap di Pulau Komodo dianggap sebagai penduduk liar.
Umbu Wulang mengingatkan pemerintah agar upaya pelestarian Komodo tidak perlu dilakukan dengan cara merelokasi penduduk yang hidup secara turun-temurun di Pulau Komodo, tetapi sebaliknya menjadikan mereka sebagai benteng terdepan dalam upaya pelestarian komodo. (Rachmawati)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Polemik Suku Komodo di Pulau Komodo, Dianggap Penduduk Liar hingga Wacana Relokasi")