Penulis
Intisari-online.com - Ritual kematian di setiap daerah mungkin berbeda-beda tergantung keyakinan dan tradisi yang dianut oleh penduduk sekitar.
Begitu pula dengan orang-orang Anga yang tinggal di Distrik Aseki, Papua Nugini, sebuah daerah dataran tinggi di pinggiran yang jauh dari dunia modern.
Kawasan itu tertutup kabut yang secara teratur dianggap sebagai petanda roh-roh, mereka adalah pewarus salah satu ritual yang disebut Aseki, atau merokok mayat leluhur.
Melansir BBC, mungkin terdengar aneh namun, memang begitulah kenyataannya, mayat-mayat aseki adalah fenomena di mana mereka telah diawetkan selama lebih dari 100 tahun.
Baca Juga: Mulai Usia 40 Disarankan untuk Deteksi Dini Kerusakan Otak, Ini Alasannya
Menurut keterangan, orang Anga mulai memurnikan kematian seseorang di wilayahnya dengan tanah untuk melestarikan jasadnya.
Tubuh jenazah yang telah diolesi dengan tanah merah dibiarkan selama berbulan-bulan untuk dihisap aromanya selama berbulan-bulan.
Praktik menghisap ini dikenal dengan istilah "roh haus" dan kemudian jenazah diangkat ke atas tebing terjal, kemudian didimpang dengan bambu.
Mayat-mayat ini dilestarikan dengan teknik tingkat tinggi, dengan ketelitian dan persiapan.
Namun, penampilan mereka mungkin akan sedikit membuat Anda merinding, karena mereka dibiarkan di tempat terbuka.
Penampilan mayat dengan warna merah karena dilumuri tanah merah, tubuh yang kaku, serta mayat-mayat dengan pose yang diatur.
Meski demikian, tubuh yang dihisap dihormati sebagai leluhur, keyakinan mereka didasarkan pada ada perlindungan dari aroma mayat yang dihisap tersebut.
Baca Juga: Terpisah 24 Tahun Karena Perdagangan Manusia, Gadis Ini Bertemu Ibunya dengan 'Cara Sepele' Ini
Menurut laporan BBC total ada 14 mayat yang tersusun di perancah bambu dalam posisi seperti meringkuk, atau duduk.
Empat mayat telah hancur, menjadi tumpukan tulang dan tengkorak, sedangkan beberapa diantaranya masih dalam posisi duduk.
Namun, ada cerita berbeda yang ditawarkan oleh penduduk sekitar, Loland seorang pendeta mengatakan pengawetan mayat ini dilakukan pada sebelum Perang Dunia I.
Anga menyerang kelompok misionaris yang tiba di kampung itu, kemudian ada seseorang yang ditembak mati oleh misionaris karena membela diri.
Baca Juga: Terpisah 24 Tahun Karena Perdagangan Manusia, Gadis Ini Bertemu Ibunya dengan 'Cara Sepele' Ini
Peristiwa itu memicu serangkaian pembunuhan dan balas dendam, hingga akhirnya misionaris menghadiahkan garam untuk membalsem mayat.
Namun praktik ini berlangsung selama satu generasi,dan selanjutnya misionaris berhasil mengubah orang Anga menjadi Kristen. Mereka menyebut, praktik Aseki terakhir pada tahun 1949.