Penulis
Intisari-Online.Com -Jika kita belajar mengenai berbagai adat istiadat yang ada di Indonesia, salah satu yang memiliki kesan kuat adalah tradisi pemakaman di Toraja.
Tak seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang memilih membaringkan jasad orang yang telah meninggal di tanah, orang-orang di Toraja menjadikan tebing batu sebagai tempat peristirahatan terakhir.
Mungkin kita akan berpikir orang-orang di Toraja 'aneh', tapi sebaiknya jauhkan pikiran seperti itu.
Nyatanya orang-orang di Toraja memiliki suatu hal yang luar biasa, mulai dari pesan di balik pemakaman, kebersamaan, hingga pluralisme yang mereka junjung.
Baca Juga: Hari Pertama Masuk Sekolah, Seperti Ini Serunya Tradisi Hari Pertama Sekolah di Berbagai Negara
“Kenapa kami dimakamkan di tebing batu, atau di dalam gua?” ujar Layuk Sarungallo yang sebagian giginya sudah ompong.
“Kalau kami dimakamkan di tanah, kami tidak bisa hidup karena tidak bisa berladang, tidak bisa bersawah, tidak bisa ada peternakan.”
Sembari bersila di bawah lumbung padi tinggalan leluhur, Layuk mengungkapkan bahwa Toraja merupakan dataran tinggi yang terdiri atas bukit-bukit batu dan sebagian besar adalah tanah non-produktif.
Pemahaman tentang kondisi alam Toraja itulah yang membuat leluhur Layuk memberikan teladan bagi penerus mereka untuk memakamkan jenazah di tebing-tebing batu—tradisi yang berlanjut hingga sekarang.
Layuk merupakan Kepala Adat Tongkonan dari Kete’Kesu di Kabupaten Toraja Utara.
Pagi itu dia dan keluarga besarnya tengah merayakan syukuran atas pembaptisan salah seorang anggota keluarga mereka, sekaligus merayakan kehangatan Natal.
Meskipun aluk todolo—atau agama nenek moyang—tidak populer lagi dalam masayarakat Toraja, teladan dan filosofi hidup mereka masih berlanjut hingga sekarang. Kini, mayoritas warga Toraja beragama Kristen Protestan.
Tongkonan tinggalan leluhur Layuk merupakan salah satu yang tertua di masyarakat Toraja dan kini menjadi tujuan wisata unggulan Kabupaten Toraja Utara.
Dalam tradisi Toraja, rumah tongkonan merupakan satu kompleks rumah adat, berikut lumbung padi—simbol masyarakat agraris.
Tongkonan Kete’ Kesu’ memiliki enam rumah adat dan dua belas lumbung padi. Semuanya berjajar rapi menghadap utara-selatan.
Di sekitar kompleks rumah pusaka itu terdapat menhir-menhir yang digunakan untuk upacara kematian.
Sementara di belakangnya menjulang tebing karst yang digunakan sebagai permakaman keluarga sejak ratusan tahun silam.
Semakin tinggi lokasi liang tebing, semakin tinggi pula status sosial keluarga.
Sementara, di kaki tebing terdapat beberapa bangunan beratap genting yang ruang dalamnya digunakan untuk permakaman, disebut patane.
Tampaknya Layuk seorang yang arif.
Dia menyadari bahwa sekitar lima persen warganya merupakan muslim.
Kemudian dia membuat salah satu bangunan makam yang di dalamnya terdapat satu petak yang tidak dipelur dengan semen.
“Biar keluarga saya yang Muslim bisa satu tempat dengan yang Kristen, tanpa harus melanggar pemakaman adat.”
“Itu yang kami pentingkan,” Layuk berkata.
“Kami jaga hubungan kekeluargaan yang begitu kental. Kalau kami terpisah, hubungan emosional kami selama hidup akan sia-sia. Untuk apa kita bertikai? Kita adalah satu!”
Kemudian seorang saudaranya yang berpeci menghampiri kami.
Seorang kawan seperjalanan bertanya kepada Layuk, apakah saudara tersebut adalah seorang muslim.
Sembari bersandar pada salah satu tiang lumbung, Layuk berkata, “Kami tafsirkan, di sini peci adalah topi nasional.”(Mahandis Yoanata Thamrin)
Baca Juga: Candu Hingga Perbudakan, Cerita Kelam Pontianak dalam Catatan Seorang Pelancong Tomboi
Artikel ini telah tayang di nationalgeographic.grid.id dengan judulPesan di Balik Pemakaman, Kebersamaan, dan Pluralisme di Toraja