Penulis
Intisari-Online.Com -Kurang dari dua minggu, sedikitnya telah ada 10 pendaki tewas di Gunung Everest bulan ini.
Begitu banyaknya antusiasme wisatawan untuk menjajal gunung tertinggi di dunia sehingga jalur pendakian Gunung Everest menjadi macet.
Kemacetan ini membuat banyak pendaki harus menunggu dalam antrian panjang, berisiko kelelahan, kedinginan, dan juga kehabisan oksigen.
Musim ini, Nepal mengeluarkan rekor 381 izin mendaki Gunung Everest.
Ratusan orang berstatus 'tidak terlatih dengan baik' mengambil risiko dan menempatkan hidup mereka sendiri dalam bahaya hanya dengan panduan Sherpa.
Kepadatan di jalur pendakian diduga menjadi penyebab setidaknya empat kematian di gunung tertinggi di dunia itu.
Banyak pendaki menunggu berjam-jam di "zona kematian", yang mana dinginnya cukup pahit, minim oksigen dan medannya sangat berbahaya.
Korban Everest tahun ini adalah yang tertinggi sejak 2014 hingga 2015, ketika gempa bumi besar memicu longsoran dahsyat.
Kemacetan di jalur pendakian Everest dan segala kengeriannya juga diabadikan pendaki yang juga pembuat film petualangan dan dokumenter, Elia Saikaly.
Elia Saikaly memposting di Instagram pada hari Minggu (26/5/2019) ketika ia telah mencapai puncak Everest dan mengatakan "tidak percaya apa yang ia lihat di sana".
"Kematian. Kekacauan. Mayat di jalur dan di tenda. Orang-orang yang aku coba tolong akhirnya mati."
"Orang-orang diseret ke bawah. Banyak pendaki berjalan di atas mayat," tulis Saikaly.
Baca Juga: Tewas dalam Pendakian, Inilah Potret Memilukan Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Gunung Everest
Dalam caption berbahasa Inggris , Elia Saikaly menceritakan kondisi mencekam di puncak tertinggi dunia itu.
"Pada suhu di bawah nol derajat dan oksigen rendah di atmosfer telah membuatnya hampir mati."
"Seluruh tubuh seperti mati rasa akibat hipoksia, yang terpikir hanya hidup atau mati."
Demikian terjemahan dari kutipan caption yang ditulis Elia Saikaly saat ia berada di titik terdekat dari puncak tertinggi dunia.
"Cahaya pagi membuka pintu ke gerbang puncak Everest dan secara paralel (satu per satu) orang kehilangan nyawanya."
"Di sini kita semua mengejar mimpi, dan di bawah kaki kita ada jiwa yang tak bernyawa."
"Apa yang menjadikan Everest seperti ini?"
"Ketika aku mendokumentasikan kondisi ini, pikiranku bergejolak dan berempati pada setiap orang yang berjuang untuk tetap hidup sambil tanpa ragu mempertanyakan kemanusiaan, etika, dan integritas mereka sendiri."
"Apakah ini impian mendaki Everest yang kita bayangkan?"
"Pada ketinggian hampir 9 ribu meter di atas permukaan laut, tidak ada pilihan selain melanjutkan."
"Siapa yang bertanggung jawab di sini? Individu? Perusahaan-perusahaan? Pemerintah?"
"Apakah sudah waktunya untuk menegakkan aturan baru? Akankah segalanya berubah? Apa solusinya di sini?"
Pada bagian akhir tulisan caption postingannya, Elia Saikaly juga memperingatkan supaya calon pendaki yang ingin mencapai puncak dunia supaya membuat pilihan yang lebih aman, etis dan penuh tanggung jawab.
Tak lupa ia sampaikan rasa duka cita bagi mereka yang kehilangan nyawa pada musim pendakian ini, semoga jiwa mereka istirahat dengan damai.
Mountaineering telah menjadi bisnis besar sejak Edmund Hillary dan Tenzing Norgay melakukan pendakian pertama Everest pada tahun 1953.
Baca Juga: Everest Kembali Telan Korban: Mengapa Jasad-jasad 'Abadi' Para Pendaki Everest Terlihat Memilukan?
Sejak saat itu, Gunung Everest menjadi populer di kalangan pendaki di seluruh dunia.
Dikutip dari laman AsiaOne.com, Selasa (28/5/2019), izin yang ditetapkan pemerintah Nepal musim ini, tiket mendaki Gunung Everets dipatok harga USD 11 ribu atau sekitar Rp 158 juta.
Bisnis pendakian Everest meningkatkan mata uang asing yang sangat dibutuhkan bagi negara Himalaya itu.
Setidaknya, 140 orang lainnya diberikan izin untuk mendaki dari sisi utara di Tibet.
Akhir musim pendakian bulan Mei akan ditutup minggu ini, tapi jumlah pendaki yang naik ke Everest belum dirilis.
Korban tewas termasuk empat pendaki dari India dan masing-masing satu dari Amerika Serikat, Inggris dan Nepal.
Seorang pendaki gunung Irlandia diduga tewas setelah dia terpeleset dan jatuh di dekat ke puncak.
Pendaki Austria dan Irlandia lainnya tewas di sisi utara Tibet.
Ssatu orang India yang meninggal di sisi Nepal, Nihal Bagwan, 27 tahun, harus menunggu lebih dari 12 jam dan meninggal dalam perjalanan kembali dari puncak.
Donald Lynn Cash, 55, pingsan di puncak ketika dia mengambil foto, sementara Anjali Kulkarni, 55, meninggal saat turun setelah mencapai puncak.
Penyelenggara ekspedisi Kulkarni, Arun Treks, mengatakan lalu lintas padat di puncak Everest telah menghambat orang yang ingin turun dan menyebabkan tragedi itu.(Rizky Tyas)
Artikel ini telah tayang di Tribuntravel.com dengan judulPendaki Ceritakan Kondisi Mencekam Kemacetan di Gunung Everest: Tak Ada Pilihan Selain Melanjutkan
Baca Juga: Seperti Ini Rasanya Tinggal di Base Camp Gunung Everest