Melihat Desa Te Wairoa, Desa Unik yang Terkubur di Bawah Abu Vulkanik

Mentari DP

Penulis

Gunung berapi Tarawera mengubur Desa Te Wairoa ini dan menjadikannya puing-puing vulkanik yang bertahan hingga 40 tahun.

Intisari-Online.com – Selama dua hari ini, berita mengenai Gunung Agung di Bali yang meletus dan erupsi membuat kita waspada.

Terutama bagi mereka yang tinggal di Bali atau mereka yang punya keluarga di Bali.

Seperti diberitakan, Gunung Agung kembali meletus dan memuntahkan lava pada Jumat (24/5/2019) malam.

Dilaporkan olehdailymail.co.ukpada Sabtu (25/5/2019), lava menyembur ke luar dari kawah dan menuruni lereng sejauh 3 km.

Baca Juga: Gunung Agung Kembali Meletus: Menurut NASA, Jika Gunung Agung Meletus, Maka Itu Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia

Ketika sebuah gunung api meletus, dia akan mengeluarkan lava ke bawah dan abu vulkanik ke atas.

Akibatnya, seluruh daerah yang dekat dengan lokasi gunung api tersebut bisa terkubur.

Contoh nyata adalah lokasi di sekitar Gunung Merapi di Yogyakarta yang meletus pada tahun 2010 silam.

Contoh lain adalah Desa Te Wairoa.

Desa Te Wairoa awalnya didirikan pada 1848 hingga akhirnya terkubur karena letusan gunung berapi.

Gunung berapi Tarawera mengubur desa unik ini dan menjadikannya puing-puing vulkanik yang bertahan hingga 40 tahun.

Keunikan desa ini adalah dibangun sepertiwhares(tempat tinggal sederhana) berhiaskan taman-taman berpagar seperti di pedesaan Inggris.

Baca Juga: Gunung Agung Kembali Meletus: Legenda Gunung Agung, Potongan Gunung Mahameru yang Jatuh di Tanah Bali saat Diangkat oleh para Dewa

Foto-foto awal, serta temuan arkeologi menunjukkan perkembangan desa menjadi kombinasi yang luar biasa dari pemukiman tradisional Maori dan Inggris.

Hal itu juga mengakibatkan pencampuran ciri-ciri arsitektural dari dua kebudayaan.

Sebelum letusan pada 1886 terjadi, pada 1852 di desa ini didirikan sebuah sekolahan.

Selain itu, Pendeta Spencer, misionaris Kristen juga memperkenalkan gandum ke lembah Te Wairoa dan penggilingan tepung didirikan di samping Aliran Te Wairoa pada tahun 1857.

Gereja Te Mu juga didirikan dan selesai pada 1862.

Dari 1865 hingga 1870, banyak sengketa tanah antara Maori terjadi.

Akibatnya, Maori lokal mundur kembali ke Kariri Point dan Spencer meninggalkan Te Wairoa pada tahun 1870 untuk bersama keluarganya.

Pada 1886, Te Wairoa sudah menjadi objek wisata yang populer dengan hotel-hotel dan jalan-jalan yang mengarah pada sebuah wisata alam yang indah.

Namun, pada tengah malam tanggal 10 Juni, rakyat Te Wairoa dibangunkan oleh serangkaian gempa bumi kecil.

Tak selesai di situ, gempa bumi yang jauh lebih besar juga mengikuti dengan akhirnya ledakan besar-besaran.

Baca Juga: Studi: Orang yang ‘Kuper’ Ternyata Lebih Pintar, Ini Alasannya

Selama lebih dari empat jam, batu, abu dan lumpur terus-terusan membombardir desa.

Desa Te Wairoa pun terkubur di bawah lapisan lumpur setinggi 121cm.

Letusan itu telah memakan korban jiwa sebanyak 153 orang dan menjadi bencana alam terbesar Selandia Baru.

Selama bertahun-tahun setelah letusan, rumah-rumah orang Maori yagn disebut Hinemihi ditemukan mengeras.

Namun bangunan yang ditemukan ini, pada akhirnya dijual ke Gubernur Jenderal Selandia Baru dan dikirim ke Inggris untuk ditempatkan di Taman Clandon, Surrey.

Usai bencana, tata ruang desa Te Wairoa mulai dibangun lagi pada 1906.

Situs itu kemudian dikembangkan oleh Keluarga Smith untuk dijadikan objek wisata.

Pada tahun 1999, sebuah museum pun ditambahkan yang dapat mengungkap bagaimana budaya Maori dan Eropa terintegrasi selama fase perkembangan sosial Selandia Baru ini. (Muflika Nur Fuaddah)

Baca Juga: 7 Negara Ini Lakukan Berbagai Perubahan Demi Menyelamatkan Bumi, Bagaimana Dengan Indonesia?

Artikel Terkait