Penulis
Intisari-Online.com -Selain kabar tentang pernyataan maaf dari para pelaku pengeroyok Audrey, siswi SMP di Pontianak, kabar lain yang menjadi sorotan dari kasusbullying tersebut adalah penetapan 3 orang pelaku pengeroyokan sebagai tersangka.
Kabar penetapan tersebut menjadi perdebatan di dunia maya sebab disertai dengan pernyataan Kapolresta Pontianak Kombes Pol Anwar Nasir bahwa para pelaku tersebut mungkin tidak memiliki kewajiban mejalani hukuman alias diversi.
Hal tersebut disebabkan ketiga pelaku dikenai Pasal 80 Ayat 1 Undang-undang tentang Perlindungan Anak dengan "hanya" ancaman hukumanpenjara tiga tahun enam bulan.
"Sehingga sesuai dengan sistem peradilan anak, bahwa ancaman hukuman di bawah 7 tahun akan dilakukan diversi," ungkap Anwar.
Munculnya opsi diversi ini membuat banyak warganet merasa geram karena merasa bahwa para pelaku sudah sepatutnya menjalani hukuman atas tindakannya.
Keadilan Restoratif
Lalu, bagaimana sebenarnya bisa muncul diversi dalam sistem peradilan kita?
Jika merujuk pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi ini merujuk pada keadilan restoratif.
Melansir dari Hukum Onlinekeadilan restoratif adalah suatu proses diversi di mana"semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan."
Untuk lebih memahami apa itu keadilan restoratif, mari kita simak tulisanArtidjo Alkostar, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung RI yang juga Dosen Fakultas Hukum UII di kompas.comdengan judul "Keadilan Restoratif".
--
Baca Juga : Kasus Penganiayaan Audrey: Pelaku Bullying 2 Kali Lebih Besar Idap Gangguan Kesehatan Mental?
Keadilan Restoratif
Peradilan pidana sejatinya bertujuan melindungi dan meningkatkan martabat manusia, baik bagi diri korban kejahatan, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Hak dan martabat kemanusiaan segenap warga masyarakat dijamin secara tertulis dalam konstitusi negara dan perangkat undang-undang lainnya.
Entitas peradilan pidana berkorelasi dengan kewibawaan negara dalam menegakkan keadilan hukum. Peradilan pidana harus menjamin dan merealisasikan hak asasi segenap warga negara yang terlibat dalam proses perkara pidana.
Subsistem hukum negara
Salah satu tiang penegak kehormatan negara adalah menjamin keadilan di dalam teritorial wilayah kedaulatannya. Perangkat hukum pidana per se mengandung misi berupa strategi menanggulangi kejahatan. Hukum yang tidak adil akan kehilangan kewibawaan moralnya di dalam masyarakat.
Baca Juga : Kisah Pilu Audrey: Ini Akibatnya Bila Benda Asing Masuk ke Organ Genital Wanita
Adanya kasus-kasus perkara pidana yang melukai rasa keadilan dan mengusik akal sehat (common sense) masyarakat, seperti kasus pencurian baju jemuran oleh pemulung yang lapar dan lain sejenisnya, menuntut pemikiran kritis terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana di negara kita dewasa ini.
Termasuk, mekanisme administrasi keadilan apakah telah dapat memberikan lorong keadilan bagi semua golongan rakyat dan segala lapisan masyarakat.
Ideologi hukum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibuat tahun l981 banyak melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa para pelaku kejahatan, tetapi kurang mengadopsi hak-hak korban, sehingga penerapan hukum pidana sering menimbulkan beberapa reaksi sosial berupa tuntutan keadilan.
Perkara pertengkaran sesama anak di bawah umur, apakah tidak terlalu mahal biaya sosialnya jika harus diproses seperti perkara pidana biasa memakai prosedur yang reguler yang berlaku dalam KUHAP. Juga pertimbangan kemanfaatan bagi pelaku dan korban serta masa depannya.
Banyak kasus perkara pidana kecil yang sebenarnya dapat diproses dengan asas peradilan yang cepat, biaya ringan, dan sederhana. Misalnya, orang yang mencuri pisang karena lapar, dan pemilik pisang dapat memaafkan, maka konsekuensi etisnya tidak perlu diputus di pengadilan, tetapi diselesaikan melalui mediasi penal.
Persoalan yang dihadapi penegakan hukum di negara kita adalah belum adanya wadah hukum penyelesaian perkara pidana melalui mediasi. Doktrin hukum yang masih berlaku adalah perkara pidana tak bisa dimediasi.
Proses peradilan pidana merupakan laboratorium akal sehat karena menguji kebenaran fakta hukum dengan kacamata hukum dan hati nurani untuk menghasilkan kebenaran dan keadilan bagi pelaku dan korban.
Pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang akan memberi perhatian pada penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme lembaga restorative justice (Kompas, 19 Maret 2011) merupakan upaya yang perlu direspons secara positif oleh seluruh elemen penegak hukum dan pencinta keadilan.
Restorative justice atau proses peradilan yang memulihkan akan dapat mengurangi beban sosial-ekonomis negara dan energi penegak hukum dalam memberikan keadilan bagi masyarakat. Untuk itu, keberadaan lembaga restorative justice prosedurnya perlu dimasukkan dalam sistem peradilan pidana.
Prasyarat ”restorative justice”
Dalam Pasal 9 Konvensi PBB tentang Keadilan Restorative Justice telah diupayakan diterapkan di sejumlah negara di dunia, seperti di Inggris, Austria, Finlandia, Jerman, AS, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika, dan Kolombia.
Pada umumnya prinsip dasar restorative justice yang lewat mediasi menentukan beberapa prasyarat terjadinya restorative justice, misalnya kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual, yaitu (1) korban kejahatan harus menyetujui, (2) kekerasan harus dihentikan, (3) pelaku kejahatan harus mengambil tanggung jawab, (4) hanya pelaku kejahatan yang harus dipersalahkan bukan pada korban, (5) proses mediasi hanya dapat berlangsung dengan persetujuan korban.
Dari prasyarat mediasi penal tersebut terlihat bahwa martabat kemanusiaan korban kejahatan harus menjadi prioritas. Mediasi penal melibatkan proses spiritual untuk memulihkan dan membangkitkan rasa percaya diri korban. Urgensi dari mediasi penal menuju restorative justice merupakan upaya mencapai proses penyelesaian perkara yang berkualifikasi win-win solution.
Dari standar umum restorative justice tersebut, terhadap kejahatan korupsi tidak mungkin dilakukan mediasi penal karena korban kejahatan korupsi menyebar dalam kehidupan rakyat banyak yang hak sosial ekonominya dirampas oleh koruptor.
Beberapa alasan perlunya restorative justice melalui mediasi penal misalnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga: (1) mereka tidak ingin kasusnya sampai ke pengadilan (misalnya, karena akan malu), (2) mereka tidak melihat hukuman penjara merupakan jalan keluar, (3) mereka memerlukan hubungan berubah, (4) mereka menginginkan jalan keluar dari persoalan kekerasan rumah tangga.
Dari alasan yang menuntut adanya mediasi tersebut, tak diperlukan pola yang baku dalam mengupayakan mediasi penal. Indonesia bisa saja membuat prosedur berbeda dengan negara lain, misalnya mengambil nilai kearifan hukum lokal, seperti kearifan hukum lokal Papua, Aceh, dan lain sejenisnya.
Namun, yang harus dipedomani adalah adanya perlindungan bagi korban, prosedur-prosedur yang memberikan alternatif bagi upaya sukarela, pendekatan multiaspek, tersedianya dukungan pelayanan, sumber daya tenaga staf yang cukup, serta pelatihan dan pengawasan yang sungguh-sungguh.
Respons masyarakat pemangku kepentingan dan negara terhadap kejahatan merupakan prasyarat tegaknya keamanan, ketertiban, ketenteraman, dan keadilan.
Baca Juga : Bocah 10 Tahun Bunuh Diri Karena 'Bullying' di Sekolah, Bagaimana Cara Orangtua Mengatasinya?
Respons berupa tindakan hukum atau proses peradilan pidana formal maupun melalui mekanisme peradilan pidana informal merupakan tindakan hukum menghindari impunitas yang akan menjadi benih kejahatan dan lunturnya kewibawaan hukum.
Hilangnya daya imbau hukum akan menjadi faktor penyebaran kehendak individu untuk bertindak asosial dan ilegal. Dalam arti pula, hukum menjadi kehilangan nilai substantifnya sebagai otoritas netral yang sejatinya selalu dihormati oleh masyarakat dan negara.
Tindakan pemidanaan alternatif harus diupayakan oleh negara agar daya rekat persatuan berbangsa menjadi kokoh dan menjadi potensi pembangunan sosial-ekonomi dan politik negara.
Kepatutan penjatuhan pidana melalui restorative justice jadi tugas dan tanggung jawab penegak hukum untuk mempertajam analisis hukum dan memperpeka nurani kemanusiaan. Restorative justice akan menjadi lembaga yang dapat menjadi sarana pemerataan keadilan, terutama bagi korban dan pihak yang rentan secara sosial-politik dan lemah secara ekonomi.
KUHAP yang telah dipersiapkan oleh pemerintah harus dapat mengadopsi keberadaan restorative justice. Begitu pula tuntutan perkembangan masyarakat yang menuntut keberadaan negosiasi atas tuntutan (plea-bargain) dan peniup peluit (whistle blower) dalam sistem peradilan Indonesia.
Hal ini agar proses penegakan hukum di negara kita tidak tersendat, karena kurang cepat mengadopsi instrumen-instrumen hukum negara modern dan kurang peduli terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang ternyata telah ada memberlakukan substansi restorative justice, tetapi dengan nama yang lain.
Pluralitas komponen bangsa dan kesenjangan sosial-ekonomi rakyat menuntut adanya penegakan hukum protektif bagi kelompok rentan.
Restorative justice akan dapat menjadi elemen menambal lubang kesenjangan keadilan yang diderita kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan ekonomi lemah yang berurusan dengan penegakan hukum.
Negara hukum yang otentik adalah negara yang rakyatnya memiliki keyakinan kolektif bahwa mereka akan diperlakukan secara adil oleh kedaulatan hukum.
Baca Juga : Putri Ussy Sulistiawaty Jadi Korban Bully, Apa Dampak dan Bagaimana Mengatasi Bullying?