Mengapa Bunuh Diri Bisa 'Menular' Meski Bukan Penyakit?

Tatik Ariyani

Penulis

Bunuh diri bukanlah penyakit menular. Lantas, kenapa ada begitu banyak kasus bunuh diri yang tidak terduga?

Intisari-Online.com -Tindakan bunuh diri itu sendiri sebenarnya tidaklah rasional. Namun satu hal yang pasti, bunuh diri bukanlah penyakit menular. Lantas, kenapa ada begitu banyak kasus bunuh diri yang tidak terduga?

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan hampir 800.000 orang melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Kasus ini terjadi di semua umur dan menjadi penyebab utama kematian kedua di kalangan anak usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2015.

Angka bunuh diri di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 10.000 per tahun, meningkat dua kali lipat dari data sebelumnya.

Baca Juga : Istri dan 3 Anaknya Datangi Pernikahan Suami, Sang Anak Katakan 'Pak Saya Inikan Anak Bapak Kan'

Apa yang menyebabkan epidemi bunuh diri ini?

Setiap aksi bunuh diri adalah kasus yang unik. Tidak ada yang akan benar-benar tahu apa yang jadi alasan utama di baliknya — bahkan para ahli sekalipun.

Ada begitu banyak hal yang bisa mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Penyakit jiwa yang tidak terobati, seperti depresi atau gangguan bipolar, menjadi faktor risiko terbesar dari perilaku bunuh diri.

Beberapa orang mungkin dipicu oleh trauma mendalam dalam hidupnya, penyakit kronis, dipengaruhi oleh alkohol dan narkotika, atau bahkan karena faktor sosial ekonomi.

Kita semua menghadapi masalah dalam hidup. Satu perbedaannya adalah respon setiap orang terhadap stres dan masalah berbeda-beda.

Baca Juga : Sering Dilakukan Setiap Harinya, 8 Kebiasaan Ini Justru Membuat Wajah Cepat Tua

Orang yang rentan bunuh diri tidak memiliki pola pikir sehat yang dibutuhkan untuk berpikir logis dan menyesuaikan pandangan mereka untuk mencoba menyelesaikan masalah — bahkan ketika situasi memerintahkan mereka untuk beradaptasi.

Pada dasarnya setiap orang memiliki insting untuk bertahan di dunia ini. Insting manusia dirancang sedemikian untuk selalu mengedepankan keselamatan diri, dan keinginan untuk melindungi diri ini mendorong pemikiran bahwa nyawa harus dijaga baik-baik dengan segala cara.

Hanya saja tergantung pada apa yang dipercaya, maka tubuh dan pikirannya pun akan mengikuti. Bagi mereka yang kondisi mentalnya rentan, keputusasaan yang luar biasa membuat mereka tidak lagi dapat melihat jalan keluar yang lain.

Jika mereka percaya bahwa dengan bunuh diri, masalah dan rasa sakit mereka akan hilang, maka tubuhnya pun akan ikut merespon dengan sikap apatis — layaknya bom waktu yang menghitung mundur.

Baca Juga : Dengar Teriakan dari Sebuah Makam, Warga Kaget dengan Apa yang Mereka Temukan di Dalamnya

“Untuk alasan yang tidak kita pahami sepenuhnya, beberapa orang mengalami keputusasaan dan rasa sakit yang begitu dalam sehingga mereka percaya bahwa mereka lebih baik mati saja,” kata Dr. John Campo, kepala psikiatri dan kesehatan perilaku di The Ohio State University Wexner Medical Center, dilansir dari Live Science.

Bukan penyakit, kenapa bunuh diri bisa “menular”?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, respon stres setiap orang berbeda-beda. Risiko “tertular” bunuh diri akan semakin meningkat khususnya jika seseorang sebelumnya sudah memiliki faktor risiko tertentu dan berada pada situasi-kondisi yang dapat memicunya.

Misalnya, tinggal bersama atau merawat seseorang yang depresi. Sebuah penelitian dari National Health Institute of Mental Health menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal bersama orangtua yang depresi berisiko hingga tiga kali lipat lebih tinggi untuk “tertular” depresi dan dua hingga enam kali lipat lebih rentan untuk mengembangkan ketergantungan pada alkohol dan obat-obatan terlarang.

Baca Juga : Makan Kulit Ayam Tak Selalu Bikin Gemuk, Ini Fakta Sebenarnya

Rasa duka yang tak kunjung mereda setelah ditinggal bunuh diri seseorang yang dicintai juga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami depresi dan ketergantungan alkohol dan/atau obat-obatan sebagai cara pelampiasan kesedihan. Depresi dan penyalahgunaan zat adalah faktor risiko terbesar yang mendorong keinginan bunuh diri.

Ambil contoh kasus bunuh diri Chester Bennington dan Chris Cornell. Kedua sosok pemusik ini sebetulnya sudah sejak lama berjibaku dengan gangguan mental yang diidap masing-masing.

Chester Bennington sejak lama diketahui berjuang dengan depresi dan ketergantungan narkoba dan alkohol. Sementara itu, Chris Cornell diketahui mengidap gangguan kecemasan yang disertai dengan penyalahgunaan obat.

Tindak bunuh diri Chester Bennington memang didasari oleh gangguan depresi yang telah menggerogotinya selama bertahun-tahun. Begitu pula dengan Chris Cornell.

Namun, tindak bunuh diri Chester diduga kuat juga didorong oleh rasa duka ditinggal oleh sahabat, serta tak hentinya paparan media massa yang memberitakan kasus bunuh diri sang vokalis Soundgarden.

Kematian Cornell dipercaya kuat memengaruhi Chester untuk ikut mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama persis: gantung diri.

Baca Juga : Putrinya Sempat Berhenti Bernapas hingga Wajahnya Membiru, Sang Ayah Lalu Menamparnya 5 Kali

Media massa dapat menjadi perantara “penularan” bunuh diri

Sama halnya dengan epidemi bunuh diri yang terjadi pada sejumlah remaja fans serial TV kontroversial 13 Reasons Why di berbagai belahan dunia. Paparan media massa terhadap gambaran bunuh diri secara tak langsung ikut memengaruhi keputusan seseorang untuk mengakhiri hidupnya.

Kebanyakan remaja ini dilaporkan sebelumnya sudah terdiagnosis memiliki depresi atau gangguan mental lainnya, atau dipercaya berisiko tinggi.

Ditambah dengan menonton adegan sadis nan familiar yang ada dalam tayangan tersebut, hal ini dapat membangkitkan ingatan mereka akan trauma yang mereka alami dulu.

Baik alur cerita maupun adegan “blak-blakan” yang ditayangkan dalam serial tersebut diduga kuat sebagai pemicu utama mereka untuk mengakhiri hidupnya.

Baca Juga : Kisah-kisah Ini Tunjukkan Bahwa Betapa Rapuhnya Kehidupan Manusia dan Besarnya Keajaiban Tuhan

Cara untuk mencegah penularan bunuh diri

Paparan berlanjut terhadap perilaku atau tindakan bunuh diri yang ditunjukkan seseorang dapat meningkatkan risiko orang lain di sekitarnya yang susah rentan, untuk terpengaruh hal yang sama.

Misalnya, dengan menonton atau membaca hal-hal yang terkait dengan aksi bunuh diri, merawat dan tinggal bersama seseorang yang depresi kronis/berat, atau terlebih menyaksikan tindakan bunuh diri tersebut (baik secara langsung maupun lewat media massa).

Remaja adalah kelompok yang paling rentan terhadap penularan bunuh diri melalui media. Risiko penularan bunuh diri melalui media bisa diminimalkan dengan pelaporan berita yang singkat.

Pemberitaan yang berkepanjangan dan berulang-ulang bisa meningkatkan frekuensi paparan mereka terhadap pemicu bunuh diri.

Pemberitaan media massa seharusnya tidak boleh membocorkan deskripsi rinci tentang metode bunuh diri karena membuka kemungkinan untuk ditiru. Pemberitaan tentang kasus bunuh diri juga harus dilengkapi dengan informasi bagaimana bunuh diri bisa dicegah.

Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Bukan Penyakit, Kenapa Bunuh Diri Bisa ‘Menular’?"

Artikel Terkait