Find Us On Social Media :

Masa Prademensia, Yuk Kenali Sebelum Demensia Terjadi pada Kamu

By Trisna Wulandari, Kamis, 28 Februari 2019 | 22:00 WIB

Intisari-Online.com - Otak manusia memiliki banyak fungsi, seperti fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi perasa, fungsi kongnitif, dll.

Nah, yang paling tinggi dari semua fungsi ini adalah fungsi kognitif, yang disebut juga fungsi luhur.

Penurunan fungsi luhur secara progresif inilah yang dinamakan demensia.

Penurunan fungsi kognitif atau fungsi luhur sebetulnya normal terjadi karena pertambahan usia.

Tetapi pada penderita demensia, penurunan itu terjadi lebih dari kondisi normal dan sangat progresif. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi demensia paling banyak dialami pada usia 55-60 tahun.

Baca Juga : Salah Kaprah Soal Demensia, Ketahui Fakta yang Sebenarnya!

Namun khususnya demensia Alzheimer, tidak hanya terjadi di usia tua, sebab bisa saja terjadi karena bakat genetik.

Menurut dr. Gea Pandhita, M.Kes, Sp.S dari RS Pondok Indah Bintaro Jaya, demensia Alzheimer juga pernah terjadi pada remaja usia 16 tahun.

Demensia juga tidak terbatas pada lansia sebab demensia jenis vascular dapat terjadi di usia 30-40 tahun.

Nah, apabila sudah terjadi demensia, penurunan ini tidak bisa dihentikan dan dikembalikan seperti semula.

Itulah sebabnya gejala awal demensia sebaiknya dikenali sejak dini, yaitu pada masa prademensia.

Deteksi dini bisa sembuh

Prademensia atau mild cognitive impairment (MCI) adalah titik krusial deteksi demensia.

Apabila gejala demensia terdeteksi di masa pramedemensia, maka penanganan dan pencegahan masih bisa dilakukan.

Tetapi, lewat dari masa prademensia, alias sudah masuk tahap demensia, sayang sekali tidak ada kata sembuh bagi si penderita.

Hal yang bisa dilakukan adalah pemberian obat demensia untuk memperlambat progres penurunan fungsi kognitif.

Baca Juga : Sering Lupa Meletakkan Barang di Mana? Awas, Itu Adalah 1 dari 10 Gejala Demensia

Cek fungsi otak

Mengenali masa prademensia sebagai deteksi dini demensia dapat diketahui melalui cek fungsi otak.

“Kita rutin cek kesehatan, tetapi jarang memeriksakan fungsi otak, padahal sangat penting dilakukan,” kata Gea menganjurkan.

Dalam proses cek fungsi otak melalui MRI, akan terlihat pusat memori yang bernama hippocampus.

Apabila seseorang mengalami penyusutan otak di bagian itu, maka ia dicurigai mengalami demensia.

Baca Juga : Penelitian Ungkap Bahwa Menikah Bisa Kurangi Risiko Demensia, Ini Alasannya

Selain itu, dalam pemeriksaan ini, pasien akan ditanya apakah mengalami perubahan keseharian atau tidak.

Pertanyaan ini diajukan untuk melihat kecenderungan penurunan fungsi luhurnya.

Misal, apakah ia kehilangan semangat melakukan hobi, mendadak malas dan lesu, dsb.

Pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat apakah ada kecenderungan gangguan keseimbangan atau memiliki penyakit faktor risiko.

Intervesi sejak dini saat seseorang dicurigai mengalami prademensia akan bermanfaat untuk kesembuhannya.

Apabila penanganan baru dilakukan saat sel-sel otak telah rusak, tak banyak harapan untuk normal kembali.

Bisa diperlambat

Proses degeneratif yang menyebabkan demensia bisa diperlambat dengan berbagai cara.

Misal, agar otak semakin sehat, ia harus banyak digunakan.

“Jangan berhenti menggunakan otak, pakaialah ia senantiasa. Misalnya dengan berpikir, membaca, mempelajari bahasa baru,” ujar Gea.

Semakin sering otak digunakan, sel saraf akan semakin banyak bercabang. Semakin banyak cabang sarafnya, semakin sehatlah otak.

Memperlambat proses degeneratif pada otak juga bisa didapatkan melalui aktivitas fisik alias olahraga.

Manfaat olahraga bisa dirasakan langsung oleh otak pada saat itu juga, saat olahraga berlangsung.

Olahraga dapat meningkatkan protein utama yang mengatur pemeliharaan, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup neuron.

Baca Juga : Demensia, Skizofrenia, dan Autisme Terkait dengan Kekurangan Vitamin B12?

Tidak hanya itu, aktivitas fisik yang rutin dilakukan, berdasarkan jurnal yang dipublikasikan Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) 2011, juga membantu meningkatkan ukuran hippocampus dan juga memperkuat daya ingat.

Dari jurnal yang sama juga dipaparkan olahraga turut membantu meningkatkan regenerasi sel saraf.

Memperlambat penurunan fungsi luhur otak juga bisa diupayakan melalui stimulasi mental.

Misalnya memperbanyak kegiatan membaca, menulis, bermain puzzle atau permainan asah otak lainnya, musik, diskusi kelompok, membuat kerajinan tangan, dll.

“Semakin banyak kegiatan stimulasi yang dilakukan bisa menurunkan risiko kehilangan memori 30-50%,” ungkap Gea lagi.

Baca Juga : Bersosialisasi Bantu Sembuhkan Demensia

Kegiatan-kegiatan tersebut akan membuat kognisi seseorang tetap aktif sehingga penurunan fungsi kognitif terjadi jauh lebih lambat.

Menurut Wilson RS dkk., dalam Neurology (2007), seseorang dengan kognisi aktif di usia tua memiliki kemungkinan 2,6 kali untuk mengalami demensia ketimbang seseorang yang kognisinya aktif.

Otak juga harus diperlakukan dengan baik dengan sering-sering diberi stimulasi mental dengan kegiatan yang bervariasi dan menyenangkan.

Contoh, mengikuti kegiatan sosial, pergi ke restoran, berwisata, mengunjungi saudara, berorganisasi, dan beribadah.

 

Artikel ini telah terbit di Majalah Intisari dengan judul "Tambah Usia Bukan Artinya Banyak Lupa" oleh Tika Anggreni Purba