Find Us On Social Media :

Bagaimana Tahun Baru China dan Islam Jatuh pada Waktu Berbeda padahal Sama-sama Berpatokan pada Bulan?

By Intisari Online, Senin, 4 Februari 2019 | 10:00 WIB

Sementara itu, tahun baru Islam sangat tidak menentu. Kadang saat musim kemarau, kadang musim hujan.

Mengapa bisa demikian?

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, dan dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Hakim L Malasan, mengatakan, walaupun sama-sama memakai bulan sebagai patokan, ada perbedaan dalam perhitungan kalender Tionghoa dan Islam.

Penanggalan Islam

Bisa dikatakan, penanggalan Islam benar-benar murni berbasis waktu revolusi bulan mengelilingi bumi, 27,3 hari.

Bulan baru dalam sistem kalender Islam dihitung dari saat penampakan hilal, bulan sabit yang sangat tipis.

Penentuan bulan baru itulah yang kadang menjadi kontroversi saat awal bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha.

Ada yang menganggap penentuan bulan baru harus disertai pengamatan hilal terlebih dahulu, tetapi ada juga yang menganggap bulan baru cukup ditentukan dengan perhitungan waktu penampakan hilal secara matematis.

Walau penentuan bulan baru bersifat rumit, sistem penanggalan Islam secara umum bisa dikatakan lebih sederhana.

Satu tahun adalah 354 hari. Setiap tahun terdiri atas 12 bulan yang lamanya antara 29 dan 30 hari.

Karena lama satu bulan tak benar-benar tepat dengan waktu Bulan mengelilingi Bumi, kalender Islam mengenal tahun kabisat. Ada penambahan satu hari, menjadi 355 hari.

Awal tahun dimulai dari bulan Muharam. Nama-nama bulan diadopsi dari penanggalan yang ada di tanah Arab sejak masa Quraisy atau sebelum Islam.

"Bedanya, Islam melarang memasukkan nasi' (musim)," kata Thomas.

Baca Juga : Ramalan Kesehatan Setiap Shio di Tahun Babi Tanah 2019, Cek Shio Anda!