Penulis
Intisari-Online.com – Aktor Anjasmara geram terhadap seorang pengguna Instagram karena telah menghina fisik istrinya, aktris Dian Nitami.
Dikutip Kompas.com, Minggu (30/12/2018), Anjasmara mengutarakan kekesalannya melalui akun Instagram-nya, @anjasmara.
"Kok Istri Ku di bilang jelek sama kamu. Aku aja gak pernah bilang kalau Istri Ku itu jelek," tulis Anjas.
"Aku justru seneng kalau Istri Ku apa adanya.”
Baca Juga : Berbeda Kalender, Ini 9 Negara yang Tidak Merayakan Tahun Baru 2019
“Kecantikan yg terpenting buat saya dari hati, Sikap dan bicara nya. Bukan dari tampak luar. Seperti hidung mancung , tubuh sexy dan polesan makeup yg tebal.”
"Jaga lah sikap, hati dan bicara kamu," tulis Anjas.
Karena hal ini, Anjasmara mengeluarkan ancaman melapor ke polisi jika orang yang berkomentar tersebut segera minta maaf melalui Koran.
Tak lama, melalui fitur live Instagram, Anjasmara membagikan permohonan maaf dari si warganet dalam Insta Story-nya.
"Saya mohon maaf sedalam-dalamnya kepada Anjasmara dan istri atas apa yang saya lakukan," tulis warganet itu dalam gambar yang diposting Anjas, seperti dikutip Kompas.com, Minggu (30/12/2018).
"Saya khilaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Mohon maaf.. saya mohon maaf," tambahnya.
Walau sudah minta maaf, nampaknya Anjasmara belum bisa memaafkan netizen tersebut.
Kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi. Sejatinya ada ribuan komentar jahat di media sosial yang ditujukan pada seseorang.
Namun Anjasmara adalah salah satu yang berani melaporkan orang yang berkomentar jahat tersebut.
Baca Juga : Butuh Biaya Nikah, Pria Ini Nekat Jual Ratusan Butir Ekstasi
Lalu pertanyaannya, mengapa Anda orang yang berani berkomentar jahat di internet?
Thomas Raymond Pandapotan Sitorus,sarjanaPsikologiUniversitas Indonesia lulusan 2016, pernah menuliskan pendapatnya di Intisari Online pada September 2016.
Menurut Thomas, cara kita memakai media sosial di internet saat ini terbuka banyak sekali ruang untuk memberikan komentar.
Misal di berbagai grup WhatsApp keluarga, grup Facebook angkatan saat sekolah, ataupun artis favorit di Twitter, selalu ada hal yang bisa kita komentari dari berbagai kegiatan yang orang bagikan di media sosial tersebut.
Sebelum ikut berkomentar, biasanya kita akan melihat respon lain dari orang-orang yang membaca artikel tersebut dan kita dapat menemukan begitu beragamnya komentar-komentar yang diberikan oleh orang-orang tersebut.
Isinya tak jarang hanya berupa adu debat sengit yang saling menjatuhkan, tetapi seringkali juga muncul komentar-komentar yang bernada kasar yang bahkan bisa menggunakan kata-kata kasar kebun binatang.
Padahal komentar kasar tersebut diucapkan di ranah publik, di media sosial di mana hampir siapapun dapat membaca komentar kasar miliknya.
Hal ini oleh Papacharissi (seorang sarjana komunikasi yang karyanya telah membantu mendefinisikan bidang komunikasi politik di era media digital kontemporer) dianggap terkait dengan kondisi bahwa identitas diri pemberi komentar kasar atau negatif tidak banyak diketahui orang.
Kondisi ini membuat seseorang lebih berani berkata-kata kasar di tempat tersebut karena anggapannya orang-orang tidak begitu mengenal dia dan tidak dapat memberi sanksi yang keras terhadap dirinya.
Baca Juga : Temui Fu Sheng: Seorang Tiran Bermata Satu dari China yang Brutal
Patut dicermati bahwa identitas (nama, alamat, kontak, dsb.) seseorang saat memberi komentar di berbagai media sosial seperti LINE, Youtube, Twitter, dan juga Facebook sangat terbatas untuk diakses oleh orang lain.
Seseorang pun dapat sewaktu-waktu mengganti identitasnya di media sosial tersebut, seperti yang dijelaskan diWhispers in the dark: Analyzing an anonymous social network. In Proceedings of the 2014 conference on Internet measurement conference.
Situasi ini membuat seseorang dapat membuat dirinya diketahui hanya sebatas nama saja dan juga secara keseluruhan identitasnya dapat tidak diketahui sama sekali.
Oleh Suler dalam "Identity Management in Cyberspace"situasi ini akan menimbulkanonline disinhibitionatau fenomena perilakuonlinedi mana seseorang merasa terlepas dari berbagai standar moralnya dan dapat berperilaku sesukanya tanpa mendapat banyak sanksi dari orang lain.
Komentar-komentar kasar ini tentu tidak enak untuk dibaca di ranah publik seperti sosial media tersebut, dan kita dapat membantu mengurangi munculnya perilaku-perilaku tersebut.
Hal pertama tentunya dengan tidak ikut memberikan komentar bernada kasar atau rasis sambil mengingatkan jika ada komentator kasar agar turut memberikan komentar yang relevan dan membantu diskusi yang membangun agar bermanfaat bagi semua para komentator lain.
Jika masih membandel juga kita dapat melaporkan komentar-komentar seperti itu kepada admin situs, karena beberapa media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube memfasilitasi pengguna untuk melaporkan jika ada komentar yang dianggap mengganggu ataupun menyerang pihak-pihak tertentu.
Sumber:
Papacharissi, Z. (2004). Democracy online:Civility, politeness, and the democratic potential of online political discussion groups.New media & society, Vol6(2):259–283
Suler, J. R. (2002). Identity Management in Cyberspace.Journal of Applied Psychoanalytic Studies, Vol. 4 (4), 455-459
Wang, G., Wang, B., Wang, T., Nika, A., Zheng, H., & Zhao, B. Y. (2014). Whispers in the dark: Analyzing an anonymous social network. In Proceedings of the 2014 conference on Internet measurement conference. ACM.
Baca Juga : Sering Keluar Keringat di Malam Hari, Kira-kita Apa Artinya Ya?