Find Us On Social Media :

14 Tahun Tsunami Aceh: Jejak Tsunami Aceh Ternyata Sudah Termaktub dalam Manuskrip Kuno

By Intisari Online, Rabu, 26 Desember 2018 | 12:41 WIB

 

Intisari-Online.com - Tsunami Aceh yang terjadi tepat 14 tahun lalu (26 Desember 2004) menjadi salah satu bencana alam paling mematikan yang pernah terjadi sepanjang peradaban umat manusia.

Tsunami yang menimbulkan ombak setinggi sekitar 20 meter tersebut bahkan dianggap sebagai salah satu pemicu munculnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap bencana.

Ya, tinggal di wilayah yang dikenal sebagai ring of fire membuat masyarakat Indonesia beberapa kali ditimpa bencana alam.

Gempa yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit ini tercatat mempunyai magnitudo sekitar 9,0. Setelah itu gelombang tsunami mulai memberikan dampaknya pada wilayah Aceh dan sebagian di Sumatera Utara.

Baca Juga : Gali Lubang untuk Septic Tank, Pekerja Ini Malah 'Bongkar' Kuburan Massal 45 Jenazah Korban Tsunami Aceh 14 Tahun Lalu

Namun, tahukah Anda bahwa jejak tsunami Aceh ternyata tak hanya bisa dilacak melalui catatan geologis saja?

2006 silam, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman, menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar.

Catatan itu menegaskan, selain catatan geologis, jejak tsunami Aceh juga termaktub dalam manuskirp kuno.

Secara eksplisit catatan itu menyebutkan, pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari, Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah/3 November 1832.

Baca Juga : Penemuan 45 Jenazah Korban Tsunami Aceh, Seorang Ibu: Saya Yakin Anak Saya di Sini

Angka tersebut menjadi sangat menarik karena dari beberapa catatan penjelajah Barat, pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883.

“Bisa jadi itu adalah dua gempa yang berbeda, yang paling penting adalah adanya catatan yang membuktikan bahwa Aceh kerap dilanda gempa besar,” ujar Oman yang juga pakar filologi dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sebelumnya, pada 2005, Oman juga menemukan naskah Takbir Gempa di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh.

Naskah anonim tersebut diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18.

Manuskrip yang ditemukan di perpustakaan Ali Hasjmy itu memaparkan kejadian yang akan mengikuti gempa bumi dalam rentang waktu dari subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan.

Dalam salah satu bagiannya disebukan, ”Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu Duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu...”

Tak hanya itu, dengan bernah naskah itu juga menggambarkan bagaimana gempa bisa memicu naiknya air laut hingga ke daratan.

Naiknya air laut itulah yang kini dikenal dengan tsunami.

Baca Juga : Selamat dari Tsunami Aceh 13 Tahun Lalu, Anak Angkat Cristiano Ronaldo Ingin Jadi Polisi

Namun, jauh sebelumnya, orang Aceh juga memiliki kosakata ïe beuna atau “air bah besar dari laut”.

Namun, kata ini tak lagi dipakai hingga kejadian tsunami 2004.

Smong, tsunami dalam istilah Simeulue

Selain Oman, nama lain yang menemukan manuskrip perihal tsunami Aceh adalah filolog dari IAIN Ar Raniry, Banda Aceh, Hermansyah.

Ia menemukan “Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahibul” dalam kitab Ibrahim Lambunot, koleksi Museum Negeri Aceh.

Naskah itu menyebutkan tentang smong yang terjadi pada 1324 H atau 1906 M.

“Smong” adalah bahasa Simeulue yang berarti “naiknya air laut setelah gempa”.

Di Pulau Simeulue, pengetahuan tentang smong ini masih lestari dan terbukti menyelamatkan warga saat tsunami 2004.

Baca Juga : 13 Tahun Tsunami Aceh: Dua Insinyur Ini Ciptakan Kapsul Keselamatan yang Bisa Menahan Tsunami