Penulis
Intisari-Online.com – Namanya kembali mencuat di media ketika ia diberhentikan sementara dari anggota DPD karena ketidakhadirannya dalam beberapa sidang paripurna.
Siapa sesungguhnya Ratu Keraton Yogyakarta ini? Tabloid NOVA edisi Mei 1993, dengan judul asli Gusti Kanjeng Ratu Hemas (2): Sepatu Hak Tinggi untuk Berkelahi, mengungkapkannya secara bersambung, sejak masa kecilnya hingga sekarang.
Kenapa kursus modelling?
Pada zaman saya masih muda, dunia modelling belum banyak digeluti para gadis. Banyak di antara mereka memandang dunia itu dengan terpesona, tapi tak ada kesempatan atau tak tahu bagaimana cara memasukinya.
Saya termasuk yang bisa menggaulinya, walaupun tidak intensif.
Tapi harap diketahui, tidak benar saya pernah jadi peragawati. Sejumlah majalah dan koran pernah menulis saya melenggang di catwalk memperagakan busana. Itu tidak benar.
Yang benar, saya pernah menjadi "peragawati-peragawatian" di kampus Universitas Trisakti. Itu pun cuma sekali, secara amatiran dan seadanya memamerkan busana.
Yang sesungguhnya saya lakukan adalah ikut kursus modelling yang diselenggarakan oleh PAPMI (Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia).
Baca Juga : Tamasya Seru Sambil Mendulang Ilmu di Taman Pintar Yogyakarta
Inisiatif ini datangnya dari Ibu, dengan harapan kursus tersebut bisa mengikis selera saya yang beliau nilai kelaki-lakian.
Dalam bayangan beliau, nantinya saya bisa berubah luwes. Demikian pula dalam berpakaian, saya diharapkan bisa mengenakan kain jarik sendiri.
Entah gara-gara kursus itu atau bukan, saya sendiri merasa bertambah luwes. Maksud saya, selera saya menjadi lebih kewanitaan.
Sopir Singapura takut
Baca Juga : Dapat Fasilitas Ini, Pantas Saja Orang-orang Berebutan Menjadi Pimpinan DPR, MPR, dan DPD
Tapi he-he-he, toh unsur kelaki-lakian itu tak musnah begitu saja dari diri saya. Bahkan sampai hari ini, kurun di niana saya telah menjadi permaisuri Sultan Keraton Yogyakarta.
Contohnya, saat saya mengunjungi anak saya yang sekolah di Singapura.
Atap tempat tinggal anak saya di sana bocor. Saya lihat rembesan air. Otomatis ada dorongan dari dalam diri saya untuk turun tangan memperbaiki.
Setidaknya mengetahui apa penyebab rembesan air itu. Maka saya naik ke atap, dengan cara merayap lewat klem-klem talang.
Baca Juga : Melalui Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI
Di bawah, saya dengar orang Singapura yang jadi sopir anak saya berteriak-teriak cemas melihat saya merambat seperti itu.
la meminta saya turun, dan berkala bahwa ia akan memperbaikinya nanti.
Saya pun turun setelah memastikan sumber kebocoran terletak di talang. Ada bagiannya yang menganga sehingga air bisa menerobos dan menggenangi eternit.
Untuk membetulkan kerusakan itu terus terang saya tidak sanggup. Tapi yang penting saya tahu penyebabnya.
Baca Juga : Gagal Lamar Permaisuri Raja, Patih Gadjah Mada Putuskan Tinggalkan Dunia Poltik dan Kekuasaan
Dan lebih penting lagi, naluri kelaki-lakian (kalau boleh disebut begitu) saya terpuaskan.
Anak saya yang mendengar kelakuan saya, mengeluh kenapa ibunya bertindak seperti itu. Katanya, "Ibu mbok jangan begitu. Sopir itu tidak bisa membayangkan Ibu yang istri raja naik ke atap seperti tadi."
Dalam hati saya geli. Anak saya tidak tahu bagaimana sepak terjang ibunya waktu masih muda.
Memanjat pohon dan genting rumah, bagi saya dulu adalah perkara sepele.
Baca Juga : Seperti Inilah Kisah Ketika Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip Jatuh Cinta, Romantis!
Sambil memaklumi keberatan anak saya, saya tak lupa wanti-wanti kepadanya agar belajar hidup mandiri.
Artinya, sebisa mungkin mengatasi segala hal dengan kemampuan sendiri, sejauh itu bisa dilakukan.
Dihajar bapak
Dalam kecekatan fisik tertentu, saya lebih sigap daripada Mas Herjuno. Misalnya, membetulkan listrik mati, saya yang lebih dulu punya inisiatif dan melakukannya.
Banyak contoh lainnya yang mengandalkan kegesitan lelaki, ternyata dalam beberapa hal saya lebih bisa diandalkan dibanding suami saya.
Baca Juga : Malam 1 Suro: Air Bekas Cucian Kereta Kencana Keraton Yogyakarta Dipercaya Bisa Bikin Awet Muda
Jelas,latar belakang masa kecil dan muda membentuk unsur kelaki-lakian dalam diri saya hingga sekarang.
Bapak saya mendidik anak-anaknya secara keras. Saya, anak perempuan satu-satunya, tak beliau bedakan dengan saudara-saudara saya yang seluruhnya laki-laki (tujuh bersaudara, Red).
Bapak, kalau gusar, tak segan menghajar saya dengan kopelrim (ikat pinggang tentara, Red).
Saya masih ingat ketika itu berumur 7 atau 8 tahun. Suatu hari, saya mengkorek-korek tong sampah, mencari bekas bungkus rokok untuk dibuat mainan.
Baca Juga : Meski Jadi Putri Raja Keraton Yogykarta, GKR Hayu Enggan Dipanggil Gusti dan Lebih Nyaman Dipanggil 'Mbak'
Bapak, pulang dari kantor mengendarai jip, memergoki saya. Beliau langsung mengangkat saya ke kendaraan itu dan dengan marah menyatakan rasa malunya menyaksikan anak perempuannya mengaduk-aduk tong sampah.
Sampai rumah, kopelrim menyengat-nyengat tubuh saya.
Setelah saya besar dan mengenang kejadian tersebut, pendapat kritis saya mempertanyakan tindakan Bapak itu.
Bukankah biasa anak-anak mengkorek tong sampah untuk mencari sesuatu?
Baca Juga : Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta dari Zaman VOC: Siapakah Sosok dalam Lukisan Itu?
Bukankah anak-anak tak mungkin berpikir perbuatan itu memalukan atau tidak? Apakah tidak ada cara lain untuk memberitahu anak tentang apa yang boleh dan tidak?
Namun saya tahu di balik caranya mendidik yang keras itu, Bapak juga berusaha menanamkan kepada anak-anaknya untuk berani menghadapi konsekuensi apa pun.
Misalnya, beliau mengatakan. "Kalau kamu bisa menyetir mobil, kamu pun harus bisa pasang ban sendiri."
Lebih luas dari itu, sebenarnya beliau hendak menekankan bahwa apa pun yang terjadi sebisa mungkin harus dihadapi atau diselesaikan sendiri.
Baca Juga : Meskipun Beda Keraton, Hubungan Ki Hajar Dewantara dan Sultan Hamengkubuwana IX Ternyata Sangat Akrab
Maka dalam banyak hal jadilah saya seperti yang diharapkan Bapak. Contohnya, dalam perjalanan mengikuti tes masuk ITB, ban mobil yang saya kendarai gembos di Padalarang.
Tanpa bantuan siapa pun, saya lepas ban bocor itu dan saya pasang ban serep.
Kegemaran: Ngebut
Hidup saya selanjutnya penuh dengan tantangan-tantangan menghadapi akibat yang saya timbulkan sendiri. Saya pun tertempa untuk mandiri.
Hal yang memaksa saya untuk berkelakuan lebih "dewasa" adalah ketika kakak tertua pergi melanjutkan sekolah ke Jerman.
Baca Juga : Ketika Raffles Menjarah Keraton Yogyakarta
Adik-adik yang berjumlah 4 orang yang seluruhnya laki-laki itu kemudian memandang saya, selain kakak saya yang nomor 2, sebagai saudara tua yang wajib dipatuhi dan dijadikan teladan.
Menyadari itu, saya pun menjaga kelakuan di depan mata mereka. Tetapi bukan berarti tingkah-laku saya berubah total.
Kesukaan saya main layang-layang, misalnya, masih tetap saya lakukan bersama dengan adik-adik.
Dan saya pun membela mereka, termasuk berkelahi melawan anak laki-laki, bila saya melihat adik-adik diganggu atau dinakali.
Baca Juga : Meski Jadi Putri Raja Keraton Yogykarta, GKR Hayu Enggan Dipanggil Gusti dan Lebih Nyaman Dipanggil 'Mbak'
Pengertian lebih "dewasa" dalam hal ini adalah memberi peringatan kepada adik-adik mana yang baik dan buruk. Saya pun lebih acuh kepada mereka.
Sangat berbeda dengan sebelumnya, di mana saya sibuk dengan kesenangan diri sendiri.
Pada dasarnya, apa pun yang saya minta diluluskan oleh orangtua. Mereka jauh lebih banyak memberi izin daripada melarang.
Ketika saya masih SMP, Bapak sudah membolehkan saya menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor dari Kebayoran ke Menteng atau ke kawasan-kawasan lain di Jakarta.
Baca Juga : Kerabat Keraton Sepakat Patuhi Sabdatama yang Dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono X
Saya membawa kendaraan sendiri untuk menonton teman-teman bertanding basket, olahraga yang dulu paling saya senangi, disamping kasti.
Padahal waktu itu saya belum punya rijbewijs (SIM, Red). Tapi saya tancap terus. Kenakalan-kenakalan seperti inilah yang saya lakukan, sekaligus saya nikmati.
Kala remaja, saya gemar menyetir mobil dan ngebut. Salah satu jalur kebut-kebutan saya adalah kawasan Puncak.
Jalanan pegunungan dengan tikungan-tikungan tajam, tanjakan dan turunan curam, serta jurang-jurang yang dalam menganga, saya lalui dengan kecepatan tinggi.
Baca Juga : Misteri Penghuni Keraton Merapi (2): Merapi adalah Keratonnya Para Makhluk Halus
Sekarang, mengenang kebut-kebutan itu, terus terang saya gemetar sendiri. Untung saya tak pemah mengalami kecelakaan.
Ngebut di daerah Puncak yang kondisi jalannya seperti itu, sekali tertimpa kecelakaan, fatal akibatnya.
Taruhannya nyawa. Saya kini heran kenapa waktu itu sedikit pun tak ada rasa sayang terhadap nyawa sendiri.
Rebutan cowok
Di zaman saya muda, geng-geng juga sudah ada. Bahkan saya, yang ketika itu masih di SMA Tarakanita, dengan teman-teman satu sekolah membentuk geng juga, namanya Geradak.
Baca Juga : Kisah Kepahlawan Tiga Tokoh AURI Yang Pesawatnya Ditembak Jatuh Belanda di Langit Yogyakarta
Anggotanya tujuh orang, perempuan semua. Kami sangat kompak. Misalnya, satu bolos sekolah, semua juga ikut bolos.
Jangan main-main dengan Geradak. Berkelahi pun kami berani. Tentu saja cewek lawan cewek.
Sebuah cerita, kebetulan kami bermusuhan dengan seorang cewek pelajar SMA 4. Gara-garanya. cewek itu merebut cowok yang sebelumnya pacaran dengan seorang anggota geng Geradak.
Menggunakan mobil, kami mendatangi SMA 4, yang lokasinya di depan Stasiun Gambir. Cewek itu berhasil kami temukan. Wah. seru.
Baca Juga : Kelabui Jepang Melalui Pembuatan Selokan, Raja Yogyakarta Sukses Selamatkan Rakyatnya dari Romusha
la kami tangani beramai-ramai. Kami khusus memakai sepatu hak tinggi. Ini berguna untuk menginjak lawan.
Besoknya, kepala sekolah SMA Tarakanita dilapori hal itu. Kami dipanggil dan kena damprat.
Dunia narkotika
Zaman itu adalah masa ketika narkotikamasih belum diawasi secara ketat oleh pihak berwajib. Hukuman juga belum berat.
Baca Juga : Heroiknya Sumiyo Bergulat dengan Petugas di Atas Rumah saat Tanahnya Digusur untuk Bandara Baru Yogyakarta
Waktu itu banyak orang menjual narkotika dengan terang-terangan, misalnya di Jalan Sabang.