Penulis
Intisari-Online.com - Selter nomor 28 di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, menjadi saksi bisu perjuangan Dedek (39) dan Sulastri (37) membesarkan M Fahri (9).
Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki anak penderita mikrosefalus sejak di dalam kandungan.
Mikrosefalus membuat perkembangan otaknya melambat dan ukuran tengkorak kepala Fahri lebih kecil dari ukuran normal.
Dedek dan Sulastri telah bertahun-tahun tinggal di Kampung Akuarium, termasuk ketika permukiman di kawasan tersebut digusur pada April 2016.
Saat penggusuran, mereka sempat mencari kontrakan di daerah lain. Namun, keterbatasan biaya membuat mereka terpaksa kembali ke Kampung Akuarium dan mendirikan bedeng.
(Baca Juga:Terkena Serangan Jantung saat Sendirian, Cara Pria Ini Selamatkan Nyawa Disebut 'Sangat Jenius')
Selter mereka berukuran 3,5x6,5 meter. Dedek, Sulastri, dan empat anaknya tinggal di ruangan yang sempit itu.
Selter itu hanya diisi kasur lipat, beberapa lemari susun, dan pakaian yang digantung di mana-mana.
Sulastri menceritakan kisah perjuangannya merawat Fahri sejak dalam kandungan.
(Baca Juga: Nasib Daging Sisa Pengunjung Restoran: Didaur Ulang dan Menjadi Makanan Berharga Bagi Warga Miskin Filipina)
9 tahun lalu atau tepatnya pada 2008, Sulastri mengandung anak ketiganya tersebut.
Dokter kandungan Sulastri mengatakan, pertumbuhan janin Sulastri tidak berkembang baik.
Meski demikian, Sulastri tetap yakin dapat melahirkan dan merawat sang buah hati.
Sampai akhirnya pada 27 Juni 2008, Fahri lahir.
Hatinya seperti memberontak saat melihat kondisi Fahri yang terlahir tidak sempurna.Belum lagi, kondisi anaknya menjadi buah bibir tetangga sekitar.
(Baca Juga:Ponsel Berisi Ratusan Foto Selfie dengan Korban Pembunuhan Ini Ternyata Milik Sepasang Kanibal!)
"Waktu di awal saya enggak menerima. Mau dia kencing atau buang air, saya biarkan saja. Saya enggak mau urus, (Fahri) menangis pun enggak mau saya hiraukan," ujar Sulastri saat berbincang dengan Kompas.com, di Kampung Akuarium, Jakarta Utara, Kamis (8/3/2018).
Seiring berjalannya waktu, hati Sulastri luluh.Sulastri mau merawat Fahri seperti merawat ketiga anaknya yang lain.
"Akhirnya saya menerima, saya dinasihati sama orang kalau (anak) itu titipan Allah, jangan disia-siakan," ujar Sulastri dengan mata berkaca-kaca.
Saat masih di dalam kandungan, Fahri terkena sebuah virus yang membuat perkembangan tubuh dan kepalanya menjadi tidak seimbang.
Kondisinya tidak jauh berubah ketika setelah lahir hingga kini.
Fahri hanya bisa tertidur di sebuah ayunan yang terbuat dari kain jarik dan dipasang di tiang.
Fahri tak bisa berbicara atau berinteraksi. Reaksi yang biasa dilakukan adalah tersenyum ketika merasa senang.
Mata yang terbuka menandakan Fahri masih ingin ditemani sang Ibunda.
(Baca Juga:Bukannya Bikin Ngeri, 'Mayat' dalam Selokan Hitam Penuh Sampah Ini Malah Bikin Orang Tertawa)
Warna kulit Fahri sangat cerah karena jarang keluar rumah.Ia hanya keluar rumah untuk mandi karena tak ada kamar mandi di dalam selter.
Badan fahri dibersihkan di dalam sebuah bak air yang berada tak jauh dari rumah.
Tinggi Fahri terus bertambah, tetapi tubuhnya terlihat kurus.Usia Fahri kini 9 tahun, tetapi berat badannya hanya 10 kilogram.
Setiap harinya, Fahri diberi makan bubur dan susu. Sulastri pernah memberi makan Fahri nasi, tetapi makanan jenis itu tak bisa ditelan.
Hal itu pula yang membuat Sulastri merasa sedih ketika melihat anak lain dapat makan enak, sementara anaknya hanya bisa makan bubur selama 9 tahun.
Sulastri berceletuk ingin membeli sebuah blender untuk membuatkan Fahri jus buah.Namun, keinginan itu belum tercapai karena tidak memiliki uang.
"Saya pernah coba memberi nasi, tetapi dimuntahin keluar semua. Jadi saya kasih bubur saja. Pengin bikin jus, tetapi saya enggak punya blendernya, buah-buahan, kan, ada vitaminnya, ya," ujarnya.
(Baca Juga:Inilah Rinto, Tukang Bakso Berdasi yang Berdandan 1 Jam dan Terinspirasi James Bond)
Keterbatasan biaya
Selama 9 tahun, Sulastri bergonta-ganti rumah sakit, tempat Fahri berobat.
Belasan juta rupiah telah dikeluarkan untuk pengobatan sang buah hati.
Belum lagi pekerjaan Dedek, suami Sulastri, hanya seorang sopir bajaj.
Dalam sehari, Dedek membawa uang Rp 50.000. Uang itu dirasa tidak cukup. Biaya sehari-hari Fahri, seperti membeli bubur, pampers, bedak, minyak kayu putih, bisa mencapai Rp 250.000 setiap pekan.
Meski terlihat kecil bagi sebagian orang, uang tersebut terasa sangat besar bagi Sulastri dan Dedek.
Beruntung, pengobatan Fahri di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ditanggung BPJS Kesehatan.
Hal tersebut melegakan Sulastri dan Dedek. Seluruh pengobatan, kata Sulastri, memiliki dampak positif bagi Fahri.
Dahulu, Fahri yang sering kejang-kejang, kini sudah mulai stabil. "Bisa kejang-kejang 10-20 kali sehari, tetapi sekarang sudah tidak lagi," ujarnya.
Sulastri dan Dedek berkomitmen memberikan Fahri fasilitas dan perawatan terbaik, seperti baju baru yang juga dipakai anak-anak lainnya.
Sulastri mengatakan, Fahri selalu tersenyum ketika dipakaikan baju baru.
"Pakaian bagus, sekarang saya belikan. Mungkin dia enggak bisa ngomong, tetapi dia tersenyum waktu saya membelikan baju baru. Saya enggak mau apa-apa, cuma berharap Tuhan kasih umur panjang ke saya biar bisa terus merawat Fahri," ujar Sulastri sambil tersenyum.
(Baca Juga:Budi Hartono, Orang Terkaya Indonesia 2018 Ini Pernah Hampir Bangkrut Tapi Tidak Pernah Menyerah)
(David Oliver Purba)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjuangan Suami Istri di Kampung Akuarium Merawat Anak Penderita Mikrosefalus"