Penulis
Intisari-Online.com – Cantik bisa berarti macam-macam tergantung latar belakang budaya dan tradisi. Namun, cantik umumnya dikaitkan dengan kosmetik.
Kata kosmetik berasal dari kata Yunani kosmetikos, artinya keterampilan berhias.
Kosmetik yang sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun lalu, selain mempercantik, juga melindungi kulit dari cuaca atau serangga (seperti dilakukan masyarakat Indian), atau tujuan keagamaan.
Penelitian arkeologi di Timur Tengah menemukan banyak salep wangi, pot wadah kosmetik, dan cermin logam yang mengkilat.
Diduga sejak 4000 SM masyarakat Mesir kuno telah menggunakan kosmetik.
Selain Mesir, masyarakat Yunani dan Romawi pun diduga telah meracik kosmetik dari tanaman, bahkan bubuk mineral.
(Baca juga:Sejarah Kancing: Dari Hanya Sebagai Aksesoris Hingga Terbentuk Asosiasi Masyarakat Kancing)
Zaman itu wanita dianggap cantik bila memiliki mata yang besar dan tajam.
Tak heran, kebanyakan wanita Timur menghitamkan bulu mata, alis, juga kelopak dengan kohl, yang terbuat dari jelaga, antimony (sejenis logam keputih-putihan), atau galena, bijih timah yang dipakai dengan harus lebih dulu ditumbuk dan diencerkan dengan air hingga menjadi pasta.
Pewarnaan pun dilakukan pada rambut, kuku, bahkan telapak tangan dan kaki dengan inai. Konon, Cleopatra (69 – 30 SM) terkenal dalam seni pemakaian kohl pada kuku serta telapak kaki dan tangannya.
Kulit yang kencang, lembut, dan putih selalu jadi idaman. Beraneka bedak putih, minyak khusus untuk campuran air mandi, hingga berbagai krim yang 90% berasal dari lemak hewan dan 10% balsam digunakan oleh masyarakat Mesir.
Pada 2500 SM, pemerah pipi dan bibir mulai dikenal. Adalah masyarakat Hittite yang mula-mula menggunakan merkuri sulfida yang merah tua sebagai pemulas pipi.
Masyarakat Babilonia yang biasa merontokkan bulu-bulu halus dengan batu apung lebih memilih merah tuanya bubuk serangga cochineal untuk pemerah bibir.
(Baca juga:Tak Sekadar Mempercantik, Warna-warni pada Buah dan Sayur Juga Menyimpan Misteri)
Yunani tidak bisa dipisahkan dengan peran tabib Galen (abad II) yang banyak menyumbang pada perkembangan kosmetik. Namanya pun diabadikan dalam istilah teknis krim dingin temuannya ceratum refrigerant galeni.
Krim campuran air, lilin lebah cair, dan minyak zaitun, akan memberikan rasa dingin saat air menguap. Masyarakat Yunani sendiri cenderung mewarnai bibir dan pipi dengan batang merah tua dari akar tanaman inai.
Berbicara mengenai alis, wanita Cina dan Jepang kalangan atas memiliki kekhasan, membentuk alis seperti bulan sabit atau daun willow yang bentuknya serupa pedang ramping melengkung.
Khusus wanita Jepang, terkadang menyepuh bibir bawah dengan bubuk emas.
Kepedulian masyarakat zaman dulu terhadap tata rias tercermin dengan penemuan di makam masyarakat Etruscan berupa cermin dan kotak perhiasan perunggu.
Kesenangan menggunakan kosmetik tersebut pernah berlebihan. Masyarakat Kekaisaran Romawi (27 SM – 395) yang mendadak dibanjiri kosmetik saat Romawi menaklukkan wilayah Mediterania.
Mereka ikutan memutihkan kulit dengan bubuk kapur atau timah putih, yang justru merusak kulit dan kesehatan. Atau memerahi bibir dan pipi dengan fucus – sejenis rumput laut yang beracun.
Poppaea Sabina, istri Kaisar Nero (54 – 68) yang mempertahankan kecantikannya dengan mandi susu setiap hari, memakai bedak timah putih, mewarnai bibir dan pipi dengan fucus, dan menggosok giginya dengan batu apung.
Bahkan, ia mengecat garis biru serupa urat di bagian dada agar terlihat muda. Sayangnya, Kaisar Nero yang sadis itu tetap saja memerintahkan Sabina dibunuh. Ambruknya Kekaisaran Romawi pada abad V pun menyapu kosmetik dari Eropa.
Kosmetik kembali tersebar ke Eropa Barat pada Abad Pertengahan (1100 – 1500) saat pasukan Perang Salib kembali dari Timur Tengah dengan membawa oleh-oleh kosmetik Timur.
Awal masa Renaissance (abad XIV – XVI), masyarakat Italia mempelopori pengembangan bahan kecantikan berupa lotion¸krim, bedak, atau pasta.
Sedangkan Prancis (abad XVII) menjadi pusat kemajuan produksi kosmetik. Inggris pun tak mau ketinggalan dalam hal kosmetik.
Kosmetik yang mulanya hanya untuk kalangan atas, pada abad XVIII telah umum digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, semangat merias diri, bahkan menghalalkan penggunaan racun, pernah berakibat fatal.
(Baca juga:Reog Ponorogo, Sebuah Tarian Pemberontakan yang Ditujukan untuk Majapahit)
Di Italia, ± 600 suami meninggal karena secara tak sengaja menelan racun pada kosmetik pemutih kulit istri mereka yang mengandung arsenik.
Lompatan terjadi di pertengahan abad XIX. Produk baru, kemasan praktis seperti bedak padat, sticks, mendongkrak tingkat penjualan. Bahan-bahannya pun dipilih yang benar-benar aman bagi pemakainya.
Tak sedikit pula yang memanfaatkan bahan alamiah, sebagaimana yang dilakukan nenek moyang dulu.
Kini kosmetik menjadi industri besar karena kosmetik juga dikonsumsi oleh pria tanpa kecuali jenisnya.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1997)