Find Us On Social Media :

Tak Hanya Suriname Jejak Peradaban dan Keturunan Indonesia juga Sampai ke Afrika Selatan

By Yoyok Prima Maulana, Minggu, 25 Februari 2018 | 19:00 WIB

Intisari-online.com - Hadirnya orang Indonesia di Cape Town tak lepas dari keinginan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan multinasional Belanda yang menjajah Indonesia, untuk membangun benteng transit di Cape Town pada abad ke-17.

Mereka membawa budak-budak dari Asia dan Madagaskar. Menurut catatan Arsip Nasional, budak India sebesar 36,40 persen, Indonesia sebanyak 31,47 persen, Afrika 26,65 persen, Sri Lanka 3,10 persen, Mauritius 0,18 persen, Malaysia 0,49 persen, dan daerah lain 1,71 persen.

Namun, orang India kemudian lebih menyatu di Kota Natal. Sedangkan, keturunan Indonesia tetap di Cape Town, beranak pinak dan membangun peradaban dan kebudayaannya di kota itu. Sebab itu, Cape Town juga disebut Cape Malay, karena warga yang dominan adalah keturunan Melayu. 

Sampai sekarang sering ada kesalahpahaman bahwa kata “Malay” merujuk ke Malaysia. Padahal, kata itu lebih merujuk pada keturunan Melayu yang didominasi orang Indonesia.

BACA JUGA: 

Waktu itu belum ada negara atau kata Malaysia dan Indonesia. Sehingga, semua keturunan Melayu disebut Malay. Itu terbukti dari jumlah budak yang dibawa ke sana mayoritas Indonesia. Selain itu, kebudayaan Indonesia masih mengakar kuat di sana.

Catatan di buku Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries, juga menyebutkan, orang asing pertama yang dibawa VOC ke Afsel (Cape Town) adalah orang Indonesia. Africanhistory.about.com juga menyebutkan, budak pertama yang dibawa ke Cape Town berasal dari Indonesia pada tahun 1653. Namanya Abraham van Batavia.

Aroma Indonesia

Bo-Kaap termasuk salah satu tempat bersejarah di Cape Town, Afrika Selatan. Aroma Indonesia sangat kental di sini sebab dari sinilah awal perbudakan orang Jawa di Afsel pada abad ke-17.

Saat membawa budak ke Cape Town, Belanda langsung mengubah nama-nama mereka. Ada yang dinamakan berdasarkan bulan kehadirannya, atau asal daerahnya. Ada Bambang van Java, December van Bale, August van Macassar, dan sebagainya.

Terletak di lereng Signal Hill, Bo-Kaap juga menghadap ke Table Mountain. Daerah yang menyenangkan. Bagi orang Indonesia, mengunjungi Bo-Kaap seolah ada kedekatan psikologis. Bo-Kaap sekarang masih ada dan menjadi salah satu kotapraja di Cape Town. Daerah ini tertata indah, bersih, dan rapi, dengan ciri khas cat rumah berwarna-warni.

Nuansa Indonesia terasa pada budaya dan adat istiadat di Bo-Kaap. Dalam hal kuliner, masakan sebagian orang Bo-Kaap ada yang mirip masakan Indonesia, seperti sambal, kari, dan bubur. Sedangkan dari sisi bahasa, beberapa kata akrab di telinga kita. Contohnya, tramakasie (terima kasih), boeka (buka), kamar mandie (kamar mandi), belajar, dan berkalahie (berkelahi).

Bo-Kaap juga menjadi daerah Muslim yang amat kuat. Lagi-lagi pengaruh orang Indonesia. Di sini kita dapat menjumpai Restauran Bismiellah. Jangan kaget jika wajah-wajah para pelayannya tak jauh dari wajah Indonesia. Setidaknya, kulit mereka rata-rata cokelat sawo matang. Begitu ada tamu dari Indonesia, mereka langsung bersemangat dan banyak tanya.

BACA JUGA: 

"Oh, Anda dari Indonesia," kata seorang pelayan dengan bahasa Inggris. "Salamat datang!" lanjutnya, yang maksudnya “selamat datang”.

"Mungkin saya keturunan Indonesia. Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya orang Afrika Selatan," kata Fatima, salah seorang pelayan Restauran Bismiellah.

Nah, jika ingin melihat jejak yang pasti tentang keberadaan Indonesia di Cape Town, sambangi saja makam Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam. Imam Abdullah adalah salah satu tahanan politik semasa VOC menjajah Indonesia.

Dia adalah pangeran Kerajaan Tidore, Maluku. Dia dibuang ke Cape Town pada 1780. Sebelumnya dia ditahan di Robben Island. Di pulau buangan itu, dia menulis banyak buku tentang Islam dan surat-surat dalam Al Quran, dengan mengandalkan daya ingatnya.

Buku-buku Abdus Salaam menjadi referensi utama Muslim di Cape Town sampai abad ke-19. Pengaruhnya juga sangat kuat. Dia juga membangun sekolah Islam pertama di Bo-Kaap, mengambil murid dari anak-anak para budak dan anak-anak kulit hitam. Maka, dia dijuluki Tuan Guru.

Orang Cape Town menghormati Abdus Salaam dan tetap menyebutnya sebagai “Tuan Guru”. Ia termasuk salah satu dari tiga imam besar yang pernah ada di Bo-Kaap. Dua imam besar lainnya adalah Tuan Nuruman dan Tuan Sayed Alawie. 

Warung kopi di Kampung Maccasar

Sebelum kehadiran Abdullah Kadi Abdus Salaam, ada Syeikh Yusuf dari Goa, Makassar  yang juga punya pengaruh kuat di Cape Town. Dia lahir pada 3 Juli 1626 dari pasangan Abd Allah dan Aminah. Syeikh Yusuf merupakan kerabat dekat Kerajaan Goa saat itu. Masa mudanya dihabiskan belajar agama Islam di Arab Saudi dan Yaman.

Pada 1694, Belanda membuang Syeikh Yusuf ke Cape Town, Afsel, menggunakan kapal Voetboog. Dia diikuti dua istrinya, 12 anaknya, 12 imam, dan beberapa pengikut. Di Cape Town dia ditempatkan di daerah perbukitan, Zandvielt, di luar Cape Town. Daerah yang amat terpencil. Ini upaya VOC menghindari pengaruh Syeikh Yusuf kepada para budak, terutama budak asal Indonesia. 

Akan tetapi, tetap saja para budak sering ke Zandvliet, berhubungan dengan Syeikh Yusuf. Pengaruhnya tetap kuat. Bahkan, mereka kemudian menyebarkan agama Islam di daerah itu. Saking kuatnya pengaruh Syeikh Yusuf, Zandvliet akhirnya berubah nama menjadi Macassar sesuai asal Syeikh Yusuf. Sekarang, orang menyebutnya Kampung Macassar.

Syeikh Yusuf meninggal pada 23 Mei 1699 dan dikuburkan di tempat itu juga. Namun, pada 1705, kerangka Syeikh Yusuf dipindahkan ke Makassar dan dikubur di Desa Katangka, Gowa. Meski begitu, makam Syeikh Yusuf di Macassar atau Zandvlied, Cape town, masih dipertahankan dan tetap dirawat dengan baik.

BACA JUGA: 

Bahkan, sampai sekarang orang Cape Town masih menghormati jasanya. Mereka menyebut makam itu "Kramat". Orang Cape Town sendiri sebagian besar tak tahu apa arti "kramat" atau "keramat".

Saat ini, Kampung Macassar dihuni 40 kepala keluarga. Cukup sepi dan tenang. Namun, di saat-saat tertentu, makam Syeikh Yusuf menjadi ramai dikunjungi orang Afsel atau orang asing, terutama dari Indonesia dan Malaysia.Presiden Soeharto pernah mengunjungi tempat ini pada 21 November 1997. Sebelumnya, dia menetapkan Syeikh Yusuf sebagai pahlawan nasional pada 7 Agustus 1995. Kampung Macassar memang amat bersejarah.

Daerah kecil itu menjadi pengucilan terakhir pahlawan Syeikh Yusuf, hingga dia meninggal. Tradisi yang dia tinggalkan pun masih berkembang. Bahkan, tempat itu masih dihormati orang Afsel, terutama warga Cape Town.

Di dekat makam itu ada kedai kopi memakai nama dengan ejaan bahasa Indonesia, yakni "Warung Kopi". Pemilik warung itu, Raimah, mengatakan, "Ya, itu bahasa Indonesia. Kami banyak mengenal bahasa Indonesia karena Tuan Yusuf," katanya.

BACA JUGA: