Penulis
Intisari-Online.com – Kami mungkin dulu pernah “berseberangan”, tapi pada akhirnya saya mengenang dia sebagai orang baik yang pernah ada dalam hidup saya.
Saya mengenangnya sebagai Pak Piet, meski nama aslinya Pieter. Dia seorang polisi yang baik, sekaligus juga sahabat saya.
Pertemuan kami memang tidak disengaja, di tengah hiruk pikuk demonstrasi di masa Reformasi 1998 di Jakarta.
Saya sebagai mahasiswa yang menyuarakan perjuangan, sedangkan Pak Piet bertugas sebagai polisi yang sering kali harus menghalau kami.
(Baca juga: Wanita Ini Usir Anak dan Menantunya yang Baru Menikah, Tapi Malah Disebut Mertua Idaman. Kok, Bisa?)
Suatu hari, pertemuan kami terjadi tanpa direncanakan.
Yakni sekitar Juli 2012, saat saya tengah asyik memotret anak gelandangan yang sedang bermain bola dengan pengemis tua di Jakarta Pusat.
Ketika sedang asyik membidik gambar, tiba-tiba terasa ada yang mencolek saya dari belakang.
Saya terkejut bukan main setelah mengenali wajahnya. Ah, ternyata Pak Piet!
Dan pertemuan kami siang itu bagaikan dua sahabat yang sudah lama tidak berjumpa.
Saya lantas mengajaknya singgah di sebuah warung kopi. Sambil menikmati kopi tubruk murahan, kami larut dalam berbagai cerita nostalgia tentang “masa-masa gila” dulu.
Ia lantas menanyakan kabar beberapa kawan yang saat ini sudah menjadi pengusaha, anggota parlemen, dan presenter di sebuah stasiun televisi.
“ Mereka sudah sukses ya?”
(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)
“ Ya, begitulah, kami sekarang berjuang untuk hidup masing-masing, Pak” jawab saya sekenanya
“Sejak melihat wajah kalian pertama kali di jalanan, aku sudah yakin kalian akan jadi ‘orang’ kelak,”ujarnya. Ada nada bangga di balik ucapannya tersebut.
Bagiku Pak Piet adalah polisi yang baik. Tahun 1998 kami dulu “musuh”, tapi belakangan kami menjadi kawan.
Dalam ingatan saya, dia adalah anggota polisi berpangkat bintara yang wajahnya seperti nyaris menangis saat menghalau kami dengan tangannya.
Padahal pada saat yang sama kawan-kawannya dengan beringas memukuli kami dengan pentungan. “Mundurlah dik, mundurlah beberapa meter… Kami tak mau menyakiti kalian!” teriaknya.
Ya, setiap demonstrasi terjadi di depan kampus kami, ia memang selalu terlihat “ragu” menggunakan pentungannya.
Belakangan, saat kami sudah menjadi kawan, soal ini pernah saya tanyakan langsung kepadanya.
Setelah beberapa detik terdiam, ia hanya bilang: “Saya selalu gamang, setiap datang perintah untuk berhadapan dengan kalian, saya seperti merasa akan menyakiti adik-adik saya sendiri. Saya tahu apa yang kalian perjuangkan, tapi apa daya saya yang hanya seorang bawahan?”
Sejak Pak Piet pensiun dan pindah ke Surabaya, saya tidak pernah mendengar kabarnya lagi.
Hingga akhirnya pertemuan tidak sengaja di Jakarta Pusat tadi, serta sekitar Oktober 2012, saat seorang kawan menyampaikan kabar duka: Pak Piet meninggal dunia. Selamat jalan Pak Polisi.
(Ditulis oleh Hendi Jo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2014)
(Baca juga: Betapa Terkejutnya Bocah Ini ketika Tahu Lukisan yang Ia Beli Seharga Rp26 Ribu Ternyata Karya Pelukis Terkenal)