Find Us On Social Media :

Muncul dari Gunung Berkabut, Gajah-gajah Ini Berziarah ke Candi Muara Takus saat Bulan Purnama Tiba

By Ade Sulaeman, Minggu, 11 Februari 2018 | 20:30 WIB

Intisari-Online.com – Pedalaman Sumatera 1893. Yzerman yang berkelana di sepanjang belantara yang gelap menyeramkan itu benar-benar tertegun.

Di tengah rimba yang sunyi ia menemukan puing-puing bangunan peninggalan purbakala, sisa  bangunan candi tua yang berasal dari berabad-abad yang silam.

Ketertegunannya menjadi-jadi ketika tidak jauh dari puing-puing itu ia menemukan bekas-bekas reruntuhan tembok. Panjang berlapis-lapis.

Beberapa runtuhan gapura yang- hitam berlumutmengingatkan Yzerman bahwa di sini pernah berdiri kota lama.

(Baca juga: Aktor Advent Bangun Meninggal, Karateka Tulen yang Pernah Dikeroyok 30 Preman)

Pada sekeping emas yang ditemukan sekitar candi ada tulisan, yang hurufnya menunjukkan persamaan-persamaan dengan huruf "dewanagari" dari zaman Singosari.

Jadi kira-kira dari awal abad ke sebelas atau duabelas.

Tapi menurut Krom yang menyelidiki tulisan itu kemudian, paling tidak candi itu berasal dari abad ke 7 karena banyak persamaannya dengan prasasti Kalasan dan Ligor.

Itulah Candi Muara Takus, peninggalan agama Buddha, terletak di propinsi Riau, di pertemuan hulu Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan, 200 km dari Pekanbaru.

Kecewa bila anda menduga bahwa ia secantik Borobudur, atau secemerlang Prambanan. Muara Takus saat ini lebih banyak menyeramkan daripada mengagumkan.

Dr. F.M. Schnitger, sarjana ilmu purbakala berkebangsaan Belanda yang mengadakan  penyelidikan mulai tahun 1935 sampai 1939, dalam bukunya "The Forgotten Kingdoms in Sumatra" terbitan E.J. Brill, Leiden tahun 1939, antara lain menuliskan pengalamannya menyaksikan gerombolan gajah yang 'berziarah' ke candi tersebut tahun 1935.

"Sebuah deruman dahsyat, suatu suara yang belum pernah kudengar, menggelegar dan membuat orang yang paling perkasa sekalipun akan menggigil mendengarnya. Yakni lengkingan dan raungan gajah yang sedang menuruni gunung Suligi yang diliputi kabut malam. Mereka menyeberangi sungai dan menuju lurus ke perkemahan saya."

Seperempat jam kemudian, tulisnya,"tanah mulai berguncang. Suara gemuruh yang maha dahsyat memenuhi angkasa.

(Baca juga: Cara Mudah dan Manjur Hilangkan Bopeng Bekas Jerawat, Bisa Dipraktikkan Sekarang Juga)

Suara gemuruh yang keluar dari perut seekor gajah dapat terdengar sampai beberapa mil, tetapi belum pernah kami mendengar begitu dekat. Suaranya nyaring seperti terompet."

Malam bulan pumama itu sungguh mengerikan. Di antara keremangan cahaya dan hutan rimbun, kawanan gajah bagai  kemasukan setan. Mereka membuat keributan teramat dahsyat di tengah belantara itu.

Setiap candi mereka kelilingi beramai-ramai. Kadang-kadang berjalan, kemudian berlari-lari.

Sekitar pelataran kuil sebentar-sebentar mereka berjongkok kemudian menyembah, diikuti semua gajah-gajah lain. Lalu kemudian mengundurkan diri ke dalam hutan.

Tetapi tatkala Schnitger akan memulai suaranya, suara gemuruh kembali terdengar. Tanpa disadarinya, semua yang ada ditangannya dilemparkannya ke tanah dan dia mengambil langkah seribu menuju ke puncak Candi Tua.

"Beberapa saat tak terjadi sesuatu apapun. Kesunyian terasa mencekam. Tiba-tiba terdengar suatu bunyi membahana yang gegap gempita. Sebatang pohon besar tumbahg tepat di bekas saya berdiri tadi.

Seluruh gerbang tertutup oleh dahan dan rantingnya. Pada waktu yang bersamaan terdengar pula suara gemeretak bunyi dahan-dahan kayu diremukkan. Semak belukar terkuak.

Dua ekor gajah raksasa menyerbu ke lapangan kuil, berkelahi sambil menjerit-jerit, saling menghantam dengan gadingnya yang kukuh. Dan kemudian secepat kilat, seperti tatkala mereka muncul, gajah-gajah itupun lenyap pula kembali ke hutan jurusan lain." Tulis Schnitger.

Belum terpecahkan

Cerita mengenai gajah ini tidak hanya terjadi pada saat Yzerman atau Schnitger puluhan tahun yang lalu, tapi masih berlangsung sampai sekarang.

Bila pumama tiba, dari gunung berkabut, kemudian menyeberangi sungai gajah itu datang berduyun-duyun dalam jumlah sampai dua puluh ekor.

Mereka datang berziarah ke Candi Muara Takus seperti ada sesuatu yang mereka cari. Baru kemudian kawanan gajah itu menghilang ke rimba manakala purnama redup menjelang fajar.

Sampai sekarang pun misteri ini belum terpecahkan.

Tahun 1973 Dr. Froelich Rainey, Direktur Museum Universitas Pennsylvania yang berkunjung ke Riau menyelidiki Candi itu. Tapi iapun tidak banyak mengungkapkan misteri Candi Muara Takus.

Apa yang ada sekarang di Candi Muara Takus? Bangunan kompleks candi yang digambarkan di atas hanya tinggal puing-puing dan gundukan tanah. Di sana-sini diselimuti rumput dan pepohonan. Lebih tepat disebut kuburan raksasa karena besarnya dan lupa diurus.

Candi Muara Takus menjadi tidak begitu terpencil lagi. Kalau dulu Schnitger harus naik sampai atau berjalan kaki berhari-hari lamanya bersama pembantu-pembantunya, menuju Muara Takus, sekarang dengan mudah dapat dicapai dalam waktu hanya 3 jam dengan mobil dari Pekanbaru.

Dari Pekanbaru, pertama-tama harus dituju Muara Mahat (jalan antara Pekanbaru - Padang), kemudian diteruskan lagi sampai daerah pertemuan Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Jarak seluruhnya 200 km dari Pekanbaru.

Sekitar Candi Muara Takus kini sudah dibangun jalan yang dapat dilalui mobil. Sekeliling candi dibersihkan sekedarnya agar jangan sampai ditutupi pepohonan. Kendaraan umumpun sekali-sekali pernah juga sampai kemari membawa "turis" setempat.

Banyak pencinta peninggalan purbakala yang sudah berkunjung ke kompleks Candi Muara Takus ini. Berita mengenai peninggalan lama yang bersejarah ini sekarang mulai sampai ke masyarakat umum di Sumatera.

Sehingga setiap hari libur banyak pengunjung-pengunjung yang sengaja berwisata kesini. Muara Takus tampaknya dapat tumbuh menjadi objek wisata kecil-kecilan yang banyak dikunjungi.

Candi Muara Takus mungkin akan membuka lembaran sejarah baru bagi pariwisata dan sejarah Indonesia, terutama Riau khususnya.

Berbagai penyelidikan, seminar-seminar dan berbagai usaha telah dilakukan oleh Universitas Riau, atau universitas-universitas di luar negeri.

Mereka semua ingin membuktikan bahwa Candi Muara Takus adalah pusat Kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu.

(Ditulis oleh Hikmat Ishak. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1977)

(Baca juga: Mewahnya Pesta Pernikahan 10 Hari 10 Malam Anak Raja Tambang Batu Bara Kalimantan Ini! Mobil Pengantinnya Saja Seharga Belasan Miliar!)