Penulis
Intisari-Online.com – Apakah hal ini masih terjadi sampai sekarang, entahlah. Yang jelas, sampai awal abad ke-20, khususnya di daerah Jawa Tengah, kaum penjahat, baik pencuri maupun perampok, masih haqqul yakin pada soal-soal mistik.
Mereka percaya dengan menguasai dan mengamalkan ilmu gaib mereka akan selalu berhasil menunaikan pekerjaan mereka yang jahat.
Orang bilang, penjahat sekarang canggih karena sudah memanfaatkan teknologi tinggi alias hi-tech. Merampok bank tak perlu pakai pistol lagi, cukup lewat komputer saja. Namun, ternyata, kaum pencoleng tempo doeloe juga tak kalah canggih.
Selain menguasai teknik-teknik membobol dinding rumah atau menggali terowongan bawah tanah untuk mencapai sasaran, mereka juga mempelajari ilmu gaib, seperti ilmu sirep dan ilmu kekebalan tubuh.
Konon, ilmu yang disebut terakhir ini merupakan ilmu favorit yang selalu ingin dipelajari oleh setiap penjahat yang sedang berguru untuk meningkatkan mutu dan keahlian.
(Baca juga:Mantan Bodyguard Selebritas Ini Hidup dengan ‘Hernia Terbesar di Dunia’, Dokter pun Takut Mengoperasinya)
Guru ilmu maling ini umumnya adalah para maling kawakan juga, tapi yang sudah 'pensiun’ karena usia lanjut. Mereka beralih profesi menjadi guru bagi para penjahat generasi muda, karena tak sanggup lagi melakukan aksi pencolengan sendiri.
Pakai diagram segala
Pelajaran ilmu gaib yang paling utama, yang harus dikuasai oleh setiap pencuri profesional adalah ilmu primbon (primbon adalah kitab pegangan dalam ilmu mistik Jawa) dan pedanyangan (danyang = roh pelindung) dan cara penerapannya untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pencurian, atau untuk mengetahui ke arah mana seorang pencuri harus melarikan diri agar tidak tertangkap.
Tempat dan waktu yang tepat untuk melaksanakan suatu operasi pencurian atau perampokan ditentukan melalui berbagai perhitungan yang matematis sekaligus mistis. Cara melakukan perhitungan ini ada macam-macam, tergantung jenis penjahatnya.
Maling tengahan (pencuri kelas menengah), misalnya, memiliki cara-cara perhitungan yang berbeda dari maling ketut yang lebih kawakan dan ditakuti.
Tiap-tiap metode perhitungan memiliki nama sendiri, seperti pujangga sanga (sembilan cerdik pandai), kalamuding (ilmu setan, kala = setan, muding = ilmu), naga dina, sahat nabi dan rajamuka.
Cara-cara perhitungan ini ada yang digunakan sendiri-sendiri, tapi ada juga yang dipakai secara berkombinasi. Maling ketut, misalnya, selalu mengkombinasikan metode naga dina dengan metode sahat nabi.
Yang pertama dipakai untuk menentukan ke arah mana ia harus mencari calon korban pada hari-hari tertentu, sedang yang kedua untuk menentukan jam yang paling baik untuk berangkat ke lokasi di mana pencurian akan dilakukan.
Cara melakukan perhitunganperhitungan ini relatif rumit. Metode-metode tertentu malah harus ditunjang dengan alat bantu, seperti gambar atau diagram.
Makhluk halus juga bisa berpacaran
Bahkan, cara perhitungan yang paling sederhana pun sudah cukup rumit bagi orang awam. Misalnya saja metode pujangga sanga yang biasa dipakai oleh para maling tengahan.
Jika seorang pencuri merencanakan melakukan pencurian pada suatu hari tertentu, maka dengan metode pujangga sanga ia bisa menentukan desa mana yang paling menguntungkan sebagai tempat pelaksanaan rencananya itu.
Sebagaimana diketahui, selain mengenal hari-hari menurut kalender biasa, yakni hari-hari Senin, Selasa dan seterusnya, orang Jawa juga mengenal hari-hari menurut kalender Jawa, yang disebut hari-hari pasaran, yakni Kliwon, Legi, Pahing, Pon dan Wage.
(Baca juga:(Foto) Operasi Plastik Tidak Seinstan yang Dibayangkan, Wanita Ini Menderita 3 Bulan Setelah Jalani Operasi)
Menurut primbon, masing-masing hari memiliki nilai tertentu: Senin nilainya 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9 dan Minggu 5. Hari-hari pasaran juga mempunyai nilai tersendiri: Kliwon 8, Legi 5, Pahing 9, Pon 7, dan Wage 4.
Di samping angka-angka nilai dari hari, metode peramalan pujangga sanga juga didasarkan atas nomor urut letak huruf-huruf dalam abjad Jawa, abjad ha na ca ra ka. Huruf ha mempunyai nomor urut 1, na 2, ca 3, dan seterusnya.
Desa yang harus didatangi si pencuri dapat diketahui dengan cara menambahkan nilai-nilai dari hari yang telah ditentukan dengan nomor urut dari huruf pertama nama desa yang sekiranya cocok untuk dirampok. Angka hasil penjumlahan ini harus dapat dibagi tiga, atau bersisa dua jika dibagi tiga.
Misalnya saja, aksi pencurian direncanakan dilakukan pada hari Senin-Kliwon — yang mungkin, menurut perhitungan lain, merupakan hari keberuntungan si pencuri — maka ia harus menambahkan kedua nilai yang dimiliki hari tersebut, yakni 4 (Senin) plus 8 (Kliwon).
Angka hasil penjumlahan, 12, lalu ditambah lagi dengan nomor urut huruf pertama nama suatu desa, misalnya 2 (dari Desa Nambangan yang huruf pertamanya, na, bernomor urut 2) atau 3 (dari desa yang bernama Cacaban yang huruf awalnya, ca, mempunyai nomor urut 3).
(Baca juga:Demi Pacarnya, Wanita Ini Lakukan 30 Kali Operasi Plastik. Padahal ‘Aslinya’ Sudah Cantik)
Nilai 12, jika ditambah 2 lalu dibagi 3 maka hasilnya akan bersisa 2 (karena 14 tidak habis dibagi 3); dan jika ditambah 3 lalu dibagi 3, maka hasilnya tidak bersisa (karena angka 15 habis dibagi 3).
Kedua hasil perhitungan ini sesuai dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Si pencuri tidak akan memilih nama desa yang huruf pertamanya ha, misalnya, karena huruf dengan nomor urut 1 ini jika ditambah 12 dan dibagi tiga hasilnya akan bersisa 1. Ini artinya mencuri di desa yang bersangkutan akan membawa sial.
Di kalangan pencuri, hasil perhitungan yang bersisa 1 disebut pacak, yang artinya pagar. Maksudnya, danyang penjaga desa — orang Jawa percaya setiap desa memiliki danyang pelindung — sedang berada di posnya dan menjalankan tugasnya bersiskamling.
Karena itu, usaha kejahatan apa pun yang akan dilakukan pada penduduknya, tidak akan berhasil.
Kalau hasil pembagian bersisa 2, si maling masih boleh berpikir-pikir untuk melaksanakan niatnya. Soalnya, sisa dua punya arti yang disebut danyang pengantenan, yang maksudnya makhluk halus penjaga desa sedang berkasih-kasihan dengan pacar-pacarnya — kaum danyang rupanya gemar bercintaan dengan beberapa kekasih sekaligus.
Pencurian yang dilakukan pada saat seperti ini masih mungkin bisa berhasil, karena danyang yang sedang asyik berpacaran tentunya tidak menjaga desanya dengan baik.
Berhasil atau tidaknya aksi pencurian tergantung dari banyak-sedikitnya perhatian yang diberikan sang danyang pada para kekasihnya yang datang menggoda. Hasil perhitungan yang paling baik adalah jika angka hasil penjumlahan habis dibagi 3.
(Baca juga:Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)
Hasil seperti ini memberi keyakinan pada si pencuri bahwa rencananya pasti akan berhasil, karena pada saat ia beraksi nanti, desa yang bersangkutan akan sedang ditinggalkan oleh danyang penjaganya. Keadaan seperti ini disebut tinggal danyang.
Buang hajat di rumah korban
Dengan ilmu sirep yang dipraktekkannya sesaat sebelum ia memasuki rumah korban, seorang pencuri dapat membuat seisi rumah tertidur dengan lelap.
Mula-mula ia membacakan mantera-mantera sambil menahan napas dan membelakangi kamar di mana penghuni rumah sedang tidur. Dengan menutup mata, ia juga membayangkan para penghuni rumah sebagai orang-orang yang sudah mati.
Lalu ia melemparkan segenggam tanah yang diambilnya dari kuburan ke atas atap rumah, dengan maksud agar ketenangan yang jadi ciri orang mati berpindah sejenak dari kuburan ke para penghuni rumah.
Di keempat sudut bangunan rumah ia juga tak boleh lupa menanam batu kerikil yang diambil dari sungai atau sumber air tempat penduduk desa biasa mandi. Ia percaya ini bisa memberi kesialan bagi pemilik rumah, karena ia pasti sudah pernah berdiri di atas batu-batu kerikil ini dengan kemaluan yang tidak ditutup.
Meski segala perhitungan sudah dilakukan dengan cermat, seorang pencuri pasti langsung membatalkan niatnya jika dalam perjalanan ke rumah korban ia mendengar orang bersenandung menyanyikan kidung, seperti Dandang gula, Pangkur atau Kinanthi, karena dianggap merupakan pertanda buruk.
Demikian pula jika ia mendengar suara orang bertengkar atau anak menangis. Kebiasaan lain dari para pencoleng yang masih percaya takhyul adalah membuang air besar di sekitar rumah korban setelah aksi pencurian dilakukan.
Konon, bau tinja segar bisa membuat polisi yang melakukan pelacakan jadi bingung dan tak bisa menemukan jejak mereka. Benar atau tidak, walahualam.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1987)