Penulis
Intisari-Online.com – Judul artikel ini memang bukan “Let’s Discuss...” tapi “Let’s Sense...” karena energi memang harus dirasakan, bukan sekadar didiskusikan.
Artikel ini juga ditulis berdasarkan pengalaman bertemu dengan banyak orang yang beragam dalam kesempatan yang berbeda-beda.
Dalam satu kesempatan, saya bertemu dengan satu divisi di sebuah organisasi yang walaupun workshop-nya hanya sehari, tetapi serasa kerja paksa seminggu lamanya.
Orang-orang di dalam satu divisi itu juga memiliki chemistry yang serupa.
(Baca juga: (Foto) Apa Jadinya Jika Para Pemimpin Dunia 'Nyontek' Gaya Rambut ala Pasha 'Ungu'? Inilah Hasilnya)
Energinya terasa negatif satu sama lain, yang dirasakan lewat interaksi tidak saling respek di antara mereka.
Saat bertemu dengan orang nomor satu di divisi tersebut, ternyata gayanya memang sama.
Terasa sangat tidak tulus dan pola interaksinya sangat transaksional.
Energi rupanya bukan sekadar dibagikan, tapi juga ditularkan dan bisa menetap menjadi sebuah culture.
Sering kali memang bukan berapa lama dan dengan siapa kita bertemu yang bikin lelah atau bersemangat.
Tapi seberapa banyak kita mendapatkan energi atau justru sebaliknya berapa banyak energi kita terserap banyak dari pertemuan tersebut.
Sebagai pemimpin atau profesional, seberapa jauh kita hanya sekadar menentukan agenda kerja, atau juga memperhitungkan energi yang kita butuhkan dan yang juga bisa kita berikan kepada stakeholders kita.
Coba kita “rasakan” energi-energi di bawah ini.
(Baca juga: Karena Uang Rp10 Miliar, Pria Tampan Ini Akhirnya Menikah dengan Wanita yang Usianya 15 Tahun Lebih Tua)
Energi nyata vs energi rasa
Ada tugas yang memang melelahkan secara fisik, seperti tugas-tugas yang membutuhkan kekuatan tenaga atau yang dilakukan dalam durasi yang cukup lama.
Ada juga tugas-tugas yang dilakukan dalam situasi yang bisa melelahkan secara fisik, seperti dalam kondisi yang sangat panas suhunya.
Saat kita melakukannya, memang secara fisik ada energi nyata yang terambil. Oleh sebab itu, perhitungkan tingkat kelelahan fisik yang ditimbulkan dan diseimbangkan dengan stamina tubuh.
Pahami meeting yang maraton itu memang secara fisik melelahkan, apalagi bila masing-masing meeting memakan waktu lebih dari 2 jam.
Namun menariknya, energi nyata ini bisa berbanding terbalik dengan energi rasa. Bukan masalah fisiknya yang lelah, tetapi secara mental dan psikologis yang bisa lebih melelahkan.
Meeting cuma 30 menit, tapi agendanya tidak jelas dan saling menyalahkan, akan jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan meeting 2 jam yang produktif.
Kadang-kadang meeting dengan orang yang punya kedudukan dan power yang nanggung, bisa lebih melelahkan dibandingkan mereka yang punya kedudukan yang jauh lebih tinggi.
Proses pembuktian diri yang berlebihan ini yang bisa sangat mengambil energi rasa.
Karakter juga bisa mempengaruhi pembawaan diri seseorang dan menentukan apakah energi yang dibagikannya terasa lebih negatif atau positif.
Meeting yang dibuka oleh orang yang pesimis, meremehkan orang lain, dan judging belum-belum sudah terasa melelahkan, padahal meeting belum dimulai.
Energi kini vs energi nanti
Selain kedua energi di atas, ada juga dua bentuk energi lainnya yang perlu diperhitungkan. Energi kini adalah energi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang sekarang.
Namun terkadang, ada orang yang tidak fokus pada apa yang harus dikerjakannya sekarang, tapi sudah khawatir mengenai tugas di kemudian hari. Itu yang saya sebut sebagai energi nanti.
Contoh yang paling mudah adalah soal presentasi. Banyak orang yang belum-belum sudah tersedot energinya karena khawatir yang berlebihan, padahal presentasinya baru minggu depan.
Khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan, padahal pertanyaan saja belum diajukan.
Mengapa tidak mengalihkan atau menambahkan energi nanti ke energi kini. Jika memang khawatir akan presentasinya, ya ditambah persiapannya sekarang.
Kalau khawatir tidak bisa menjawab pertanyaan, antisipasi dulu apa pertanyaan yang kita belum tahu jawabanya dan cari tahu jawabannya.
Dari proses merasakan energi ini, kita bisa belajar untuk menjalankan tugas dan bekerja sama dengan lebih tidak melelahkan.
Bukan mengenai seberapa kredibel diri kita sebagai profesional yang akan menentukan hasil akhirnya secara mutlak, namun juga seberapa nyaman orang lain bekerja sama dengan kita.
Selamat berbagi energi positif. (Alexander Sriewijono, Psychologist & the Founder of Daily Meaning)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2016)
(Baca juga: Siapa Sangka, Bentuk Pusar Bisa Bantu Ungkap Kepribadian Kita. Yuk, Dicek!)