Penulis
Intisari-Online.com – Ketika anak diare, banyak yang menyarankan agar menghentikan pemberian susu.
Benarkah demikian?
Diare sebenarnya mekanisme tubuh untuk membuang kuman, virus, atau racun yang masuk ke dalam usus kita. Usus ibarat saluran pembuangan kotoran.
Nah, apabila saluran ini tersumbat, maka kotoran akan balik dan semakin lama semakin menumpuk, dan penyakit pun akan berlangsung lebih lama.
Diare akut biasanya terjadi pada anak, berlangsung kurang dari 14 hari. Bisa disebabkan oleh infeksi maupun bukan infeksi.
(Baca juga:Drama ‘Diare dan 20 Kali Bolak-balik ke Toilet’ di Sidang Perdana Setya Novanto)
Diare karena infeksi umumnya disebabkan oleh virus, atau bakteri, parasit, dan jamur. Diare bukan infeksi bisa disebabkan oleh malabsorpsi, alergi makanan, atau obat, termasuk intoleransi laktosa.
Pada umumnya diare akut pada anak disebabkan oleh virus. Anak yang mengalami diare bukan hanya kehilangan banyak cairan, tetapi juga mengalami gangguan keseimbangan atau disebut hipoglikemia. Kondisi ini terjadi pada 2 – 3% anak diare.
Hipoglikemia terjadi karena rendahnya kadar glukosa darah dalam tubuh. Akibatnya, tubuh anak akan lemah, berkeringat, kejang, bahkan bisa mengalami koma.
Diare juga menyebabkan gangguan nutrisi. Ini mungkin saja terjadi pada saat anak mengalami diare, orangtua menghentikan pemberian makanan karena khawatir anaknya muntah.
Padahal, sebaiknya orangtua tetap memberikan makanan maupun minuman kepada anak yang sedang diare.
Pemberiannya pun dilakukan sedikit demi sedikit tapi dengan frekuensi yang lebih sering.
(Baca juga:Jika Sampai Jatuh ke Tangan Musuh, Pesawat ‘Kiamat’ AS akan Menghancurkan Dirinya Sendiri)
Karena banyaknya cairan yang terbuang, kebanyakan anak mengalami penurunan berat badan.
Untuk itu perlu dukungan nutrisi yang cukup agar kondisi fisik anak yang sedang diare cepat pulih.
Untuk anak yang masih menyusui, tetap berikan ASI untuk mencukupi cairan tubuh yang hilang.
“Berikan terus cairan kepada anak, lebih baik bila air putih dicampur dengan sedikit garam, sehingga cairan tersebut mengandung elektrolit yang dibutuhkan tubuh. Bukan hanya air putih, orangtua juga bisa memberikan sup atau susu untuk mencegah dehidrasi yang akut. Susu jangan diencerkan karena bisa berkurang zat nutrisi di dalamnya,” jelas dr. Dessy Afrianty, Sp.A., M.Kes. – Rumah Sakit Mitra Keluarga Cibubur.
Namun, kalau anak tersebut diare karena terbukti mengalami gangguan mencerna laktosa, sebaiknya ganti dengan susu rendah laktosa atau bebas laktosa.
Ini mungkin saja terjadi akibat virus yang menyerang tubuh anak, sehingga pertahanan di dalam pencernaannya rusak.
(Baca juga:Ternyata, Lagu 'Jaran Goyang' yang Melambungkan Nama Nella Kharisma Terinspirasi dari Kisah Ini!)
Padahal salah satu enzim yang dihasilkan oleh pencernaan adalah enzim laktase, yang mencerna laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
Jika pencernaan tidak bisa lagi menghasilkan enzim laktase, laktosa tidak dapat dicerna.
Akibatnya, perut anak menjadi kembung, menyebabkan bakteri di dalam perut menumpuk hingga menghasilkan feses asam dan mengiritasi bokong menjadi merah atau ruam.
Bukan lantas menghentikan pemberian susu, tapi untuk sementara ganti dengan susu yang rendah laktosa atau bebas laktosa tadi.
Tanpa pemberian obat, dalam waktu 5 – 6 hari, biasanya diare mulai membaik. Bila diare sudah dapat diatasi, pemberian susu dapat kembali seperti semula dengan susu formula biasa. (KTW)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2014)
(Baca juga:Setelah Tren Putihkan Mr. P, Kini Ada Tren Putihkan Miss V. Namanya Pasti Buat Anda Tersenyum!)