Find Us On Social Media :

Tradisi Tindik, dari ‘Jembatan’ Komunikasi dengan Dewa hingga Penambah Kepuasan Seksual

By Ade Sulaeman, Jumat, 12 Januari 2018 | 11:45 WIB

Intisari-Online.com – Satu dekade yang lalu, mungkin kita masih jarang bertemu langsung dengan orang yang bertindik.

Tapi sekarang, kita bisa dengan mudah berpapasan dengan mereka di jalan, angkutan umum, kampus, kantor, dan tempat-tempat publik lainnya.

Kebiasaan bertindik, menurut Sarah Sawyer dalam bukunya Body Piercing and Tattooing, diyakini sudah ada paling tidak sejak lima milenium yang lalu.

Museum Arkeologi dan Antropologi University of Pennsylvania, Amerika Serikat, punya koleksi patung laki-laki dari zaman kebudayaan Mesopotamia di Benua Asia (tiga milenium sebelum Masehi) yang memakai anting-anting di telinga.

(Baca juga: Anak Miliarder Ini Disuruh Ayahnya Jadi Orang Miskin, Hanya Dibekali Uang Rp100 Ribu)

Tradisi serupa juga dijumpai di semua kebudayaan di semua benua.

Di Benua Afrika, kebiasaan bertindik juga sudah bisa ditemui sejak zaman kerajaan Mesir kuno.  

Para Firaun dan bangsawan Mesir juga punya kebiasaan menindik pusar untuk menegaskan identitas kebangsawanan mereka.

Di Eropa, para ksatria pada masa Romawi kuno pun sudah punya tradisi bertindik.

Mereka menindik putting dada untuk menunjukkan keksatriaan mereka.

Begitu pula di Benua Amerika pada masa lalu. Di sana, para cenayang suku Aztec dan Maya kuno menindik lidah mereka dengan tujuan agar mereka lebih mudah berkomunikasi dengan para dewa.

Tradisi menindik badan juga dilakukan dalam upacara untuk menandai bahwa seseorang telah masuk usia dewasa.