Perlukah Menteri Susi Terus Menenggelamkan Kapal-kapal Pencuri Ikan?

Ade Sulaeman

Penulis

Sebuah kapal yang ditenggelamkan dan kapal itu berbendera suatu negara sebenarnya sama saja ‘menyerang’ kedaulatan negara pemilik kapal.

Intisari-Online.com - Sejak Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti “berkuasa” dengan menerapkan hukum kelautan yang tegas, sedikitnya 350 kapal yang terbukti maling ikan telah ditenggelamkan.

Banyaknya kapal yang ditenggelamkan itu jelas merupakan jumlah yang luar biasa.

Pasalnya, seandainya RI sedang dalam kondisi perang pun jumlah “kapal musuh” yang ditenggelamkan tidak sebanyak itu.

Dalam peperangan modern, khususnya setelah Perang Malvinas antara Inggris-Argentina (1982), yang ditandai dengan tenggelamnya kapal perang Argentina General Belgrano, tidak ada kapal lagi yang tenggelam karena konflik militer.

(Baca juga: Denjaka, Pasukan Khusus TNI AL yang Misterius dan Sering Bikin Gentar Navy Seal AS)

Tapi di Indonesia berita mengenai kapal yang ditenggelamkan Menteri Susi merupakan “hal biasa”.

Sedangkan bagi negara-negara lain penenggelaman kapal-kapal pencuri ikan itu sebenarnya merupakan hal yang luar biasa.

Sebuah kapal yang ditenggelamkan dan kapal itu berbendera suatu negara sebenarnya sama saja “menyerang” kedaulatan negara pemilik kapal.

Pasalnya sebuah kapal dengan bendera negara tertentu ketika sedang berlayar di perairan internasioal sesungguhya mewakili kedaulatan negara bersangkutan.

Oleh karena itu jika kapal tersebut diserang maka sama saja merupakan pernyataan perang.

Namun jika kapal bersangkutan melanggar kedaulatan suatu negara, misalnya terbukti sedang melakukan illegal fishing, kapal tersebut bisa ditangkap, diadili, lalu disita tapi tanpa harus diledakkan.

Proses penangkapan kapal yang sedang mencuri ikan sebenarnya melalui sejumlah prosedur.

Pertama diperingatkan, kedua diberi tembakan peringatan meggunakan kanon 20 mm di perairan di samping kapal.

(Baca juga: DynCorp, Pabrik Tentara Bayaran yang Memproduksi Manusia Penjual Nyawa)

Ketiga lalu dilaksanakan penangkapan, kapalnya digeledah, awaknya ditangkap untuk kemudian diadili, dan kapalnya dibawa ke pangkalan untuk disita.

Keputusan pengadilan untuk menenggelamkan kapal sebenarnya merupakan keputusan shock therapy atau pilihan terakhir untuk memberikan efek jera.

Proses untuk meledakkan kapal pun sebenarnya bukan merupakan langkah yang mudah karena harus dilakukan oleh para personel terlatih seperti anggota pasukan khusus TNI AL, Komando Pasukan Katak (Kopaska).

Secara bergurau para anggota Kopaska sebenarnya merasa senang-senang saja mendapatkan tugas meledakkan kapal yang jumlahnya hingga ratusan karena makin mengasah kemampuanya dalam berperang dan mengidentifikasi beragam kapal.

Namun jika tujuan Menteri Susi memang hanya untuk shock therapy, kapal yang diledakkan dan ditenggelamkan jumlahnya harusnya dibatasi.

Tidak semua kapal yang terbukti maling ikan ditangkap dan ditenggelamkan.

Jika atas nama hukum kapal-kapal maling ikan sudah disita dan menjadi milik negara, kapal-kapal itu memang bisa dibagikan kepada para nelayan.

Pasalnya masih banyak nelayan di Indonesia kekurangan kapal, terutama kapal-kapal yang dilengkapi teknologi canggih.

(Baca juga: (Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest)

Artikel Terkait